Perjalanan Hidupku

Sabtu, 25 Desember 2010

Kesimpulan tentang Peraturan Pemerintah Tentang Perumahan dan Permukiman UU No.2 Thn 1992

Rumah, perumahan dan juga permukiman adalah sebuah wadah atau tempat manusia bernaung. Di dalam UU No.2 Thn.1992, telah di saebutkan bahwa yang di maksud dengan Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. dan Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang di lengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. Sedangkan Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tingal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Biasanya orang yang merancang rumah, perumahan dan juga permukiman pasti lah orang-orang arsitek, tetapi kita jangan lupa bahwa pada Bab V pasal 29 di katakana bahwa: setiap warga Negara mempunyai hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman, disini tidak di katakana bahwa orang-orang yang tunjuk untuk membangun hanya orang teknik, tetapi semua masyarakat Indonesia, kenapa demikian? Karena menurut saya pribadi, yang di maksud pembangunan tidak hanya membangun gedung-gedung skyscraper, atau bangunan lainnya. Tetapi yang di maksud pembangunsan adalah langkah-langkah atau suatu kegiatan yang bertujuan untuk memajukan yang diharapkan dari kemajuan tersebut masyarakat jadi lebih tenang, tentram, aman, damai, dan dari pembanguynan tersebut tercapai manfaat yang kita inginkan.
Bisa saja ketika di desa-desa arsitek belum ada, na yang berperan serta membangunan desanya dalah orang yang tinggal di desa tersebut, tidak bisa kita pungkiri bahwa, walaupun tanpa ada mendapat pendidikan formal, tentang arsitektur. Tetapi masyarakat desa biasanya telah mewarisi arsitektur tradisionalnya, inilah yang dimaksud peran serta seluruh masyarakat secara keseluruhan, jadi arti peran serta dalam pembangunan tidak bersifat semppit, yang hanya mengandalkan arsitek, tetapi seluruh komponen masyarakat ikut serta dalam pembangunan. Pemerintah juga tidak hanya memberikan atau membuat peraturan, tetapi pemerintah juga melakukan pembinaan, ini tercantum pada Bab.VI pasal 30. Dikatakan bahwa,
1. pemerintah melakukan pembinaan di bidang perumahan dan permukiman dalam bentuk pengaturan dan pembimbingan, pemberian bantuan dan kemudahan, penelitian dan pengembangan, perencanaan dan pelaksanaan serta pengawasan dan pengendalian.
2. Pemerintah melakukan pembinaan badan usaha di bidang perumahan dan permukiman.
3. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan 2 di atur dengan peraturan pemerintah.

Jika benar peraturan tersebut benar-benar di implementasikan dengan baik, kenapa masih ada kita dengar bangunan roboh, atau bangunan reot dan segalnya. Apakah kurang pengawasan dari pemerintah atau memang tidak ada pengawadan sama sekali. Menurut saya pengawasanlah yang kurang, sebab kalau seandainya pemerintah benar-benar mengawasi serta memberikan bimbingan pada orang-orang yang terkaita dalam pembangunan, tidak akan pernah kita dengan bangunan yang miring atau bangunan yang tidak berfungsi dengan baik.

kesimpulan atau pendapat saya mengenai isi UU No.26 Thn.2007

Lingkungan binaan harus terus perlu di tingkatkan pengolahannya, sehingga berdaya guna, berhasil guna dengan berpedoman pada peraturan pemerintah yang bertujuan untuk keberlangsungan dan kelestarian lingkunan hidup yang lebih baik di masa yang akan datang.
Negara Indonesia adalah Negara hukum. Ini tercermin dari peraturan dan perundang-undangan yang mengatur segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Tidak terkecuali tentang pembangunan. Ada beberapa undang-undang tentang pembangunan seperti UU No. 26 Thn 2007 yaitu tentang Penataan Ruang. UU no.26 Thn 2007 adalah ganti dari UU No. 24 Thn. 1992 yang memiliki 80 Pasal yang terdiri dari beberapa ayat, seperti pasal-pasal lainnya.
Dalam pasal satu di jelaskan bahwa yang dimaksud dengan ruang adalah “wadah yang meliputi ruang darat, meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidup”. Sangat jelas bahwa tidak hanya darat yang di sebut ruang. Melainkan udara, laut, dan isi bumu juga ternyata termasuk ke dalam wadah ruang.
Inilah wadah bagi arsitek-arsitek yang harus kita olah menjadi wadah yang alami beralih ke wadah binaan atau lingkungan binaan. Pearan arsitek sangat besar kaitannya dengan perencanaan lingkungan atau yang berkaitan dengan raungan. Karena arsitek itu tidak lepas dari yang namanya Dimensi. Arsitek di tuntuk untuk tidak hanya bisa mengolah wadah darat saja, melainkan dengan wadah isi bumi, seperti ruang bawah tanah, di Negara maju, ruang bawah tanah sudah banyak di rancang. Seperti untuk keperluan banker, subway, rumah bawah tanah, dan masih banyak lagi. Mungkin di Indonesia memang belum ada pengaplikasiannya. Tetapi lambat laun pasti mengarah ke situ juga, sebab lahan darat makin habis, mau kemana lagi? Kalo ngk ke dalam tanah.
Dalam pembangunan pemerintah sangat berperan besar dalam mengatur pembangunan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana jadinya kalau dalam pembangunan tidak ada UU yang mengatur, bisa-bisa Negara akan sembrawut, tanpa pola yang jelas. Didalam UU No.26 Thn.2007 sudah sangat jelas bahwa dari Wadah ruang sampai ke peruntukan lahan sudah diatur sesuai dengan fungsi-masing-masing. Sehingga di harapkan ruang yang ada baik itu di kota maupun di desa akan terencana dan tertata seperti yang di inginkan.
Untuk membantu kinerja pemerintah, pemerintah sendiri memiliki badan yang di sebut Dinas Tata Kota. Fungsi tata kota sangat banyak sekali, dari mulai perencanaan lansekap kota sampai peraturan gedung-gedung tinggi,
Ketika terjadi pelanggaran dalam tata ruang maka disini sudah tercantm bebrapa hukuman bagi orang yang mebnyalahi aturan antara lain:
1. Apabila mengalih fungsikan ruang maka denda paling banyak Rp.500.000.000,00 dan pidana penjara maksimal 3 tahhun.
2. Apabila terpidana melakukan pengerusakan barang yang berakibat merugikan maka denda Rp.1.500.000.000,00 atau pidana penjara maksimal 8 thn.
Dan masih banyak lagi hukuman yang akan di berikan bagi orang-orang yang melanggar hukum, tetapi menurut saya hukum hanya berlaku bagi orang-orang miskin dan tidak berlaku bagi orang-orang kaya, pejabat dan orang-orang hebt lainnya. Karena mereka dengn amudah menebus atau membeli hukum sesuai dengan keinginan mereka sendiri, tanpa ada hambatan yang merintang langkah mereka. Walaupun nyata-nyatanya mereka melakukan kesalahan. Tetapi hukum tidak mampan bagi mereka. Seakan-akan hukum lah yang tunduk ke mereka bukan mereka yang tunsuk ke hukum. Ironis memang di tengah bangsa kita yang ber azaskan Pancasila dengan menganut system pemerintahan yang demokratis, tetapi tetap saja kepentingan orang besar bisa mereka monopoli sekehendak mau mereka.

komentar atau tanggapan tentang kontrak konstruksi

Surat perjanjian secara garis besarnya sudah bisa kita simpulkan bahwa dari pasal 1 sampai pasal 16 tidak ada pihak yang di rugikan. Pihak pertama dan kedua sama-sama berperan serta tanpa ada yang dominan untuk mengerjakan dan tanpa mengambil bagian dalam proses pengerjaan proyek yang akan di kerjakan.
Pihak kesatu adalah Ratno Bagus Edy Wibowo dan puhak kedua adalah Syamsudy, S.pd. bersama menunaikan kewajiban pada umumnya, seperti orang yang memberikan proyek dan orang yang mengerjakan proyek. Nah disini orang yang memberikan proyek adalah Bapak Syamsudy,S.pd. dan pihak yang mengerjakan proyek adalah Ratno Bagus Edy Wibowo.
Dan tidak lupa disini ada yang namanya pihak ke tiga, yaitu pihak yang di tunjuk oleh kedua belah pihak sebagai kepala yang akan memutuskan ketika ada permasalahan atau perselisihian, kalau bahasa saya tetua “panitia Pendamai” yang akan meengahi ketika ada msalah.
Isi dari perjanjian yang paling saya amati dan paling saya dukung adalah ketika ada masalah, misalkanb keterlambatan waktu, atau ada masalah yang sebenarnya tidak yang dikehendaki oleh si penerima proyek. Ini akan di selesaikan secara kekekluargaan tanpa melibatkan atau tanpa harus dibawa-bawa ke ranah hukum, atau ke pihak yang berwajib. Tapi cukup di selesaikan secara kekeluargaan. Ini lah menurut saya yang paling bagus cara penyelesaiaan masalah, begitu juga dengan si pemberi proyek bapak Syamsudy, ketika bapak Syamsudy nantinya dalam proses penmgerjaan proyek, katakanalah gaji, atau biaya terlambat cair, maka akan di musyawarahkan bagaimanan jalan keluarnya.
Ada lagi yang namanya kondisi Kahar, yaitu kondisi dimana keadaan atau peristiwa yang nyata-nyata di luar kekuasaan PIHAK KEDUA sehingga menyebabkan PIHAK KEDUA tidak dapat menyelesaikan seluruh atau sebagian Pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya.

Minggu, 28 November 2010

Hukum Perikatan Dalam Jasa Konstruksi

Sebagai mahasiswa yang sedang menjalani perkuliahan semester 5 Teknik Arsitektur Universitas Gunadarma, sudah seharusnya tahu tentang peraturan kontrak kerja dan sejenisnya. Pertama kali dosen saya, ibu RINA WIDAYANTI ST.MT. memberikan tugas untuk mencari data peraturan tentang kontrak kerja, saya sempat agak lain, maksud saya buat apa nyari data yang seperti itu, saya kan masih mahasiswa, sayakan belum kerja, sayakan belum jadi karyawan perusahaan. Tapi saya nurut saja sama tugas yang diberikan oleh bu rina. Setelah saya mencari data-data yang ada hubungan nya dengan kontrak kerja, khususnya kontrak kerja konstruksi saya mulai mengerti tentang manfaat yang akan saya dapat, walaupun manfaatnya tidak langsung saya rasakan tapi saya sudah mendapat bayangan bahwa nanti, cepat atau lambat, ilmu ini akan terpakai.
Dari beberapa sumber yang saya dapat dan telah saya baca, ternyata terdapat ketidak sesuaian antara karyawan dan katakanlah dengan perusahaan tempat karyawan itu bekerja. Ketidak sesuaian yang saya maksud disini adalah kewajiban karyawan telah terlaksana, tetapi hak karyawan ada yang tidak terpenuhi.
Ironisnya lagi sekarang ini ada yang namanya system kerja yang menurut saya tidak adil bagi si karyawan, system out sourching. Informasi ini saya peroleh dari majalah ilmiah WIDYA,dengan judul tulisan naskah nya “perlindungan hukum terhdap system out sourching”. Yang ditulis oleh I DEWA AYU WIDYANI dari Universitas Kristen Indonesia. Pengertian out sourching disitu dibilang bahwa mempekerjakan pekerja dalam ikatan kerja out sourching merupakan trend bagi pengusaha baik perusahaan Negara maupun swasta, dengan berbagai alas an seperti untuk mencapai efektifitas, efesiensi, sehingga pengusaha berusaha menemukan pemikiran-pemikiran inovatif untuk mencapai produktifitas yang baik tentunya sangat menguntungkan mereka tapi dengan bayaran atau gaji pegawai yang murah.
Pada dasarnya hubungan kerja out sourching terjadi apabila pekerja/buruh yang dipekerjakan disuatu perusahaan dengan sistrem kontrak tetapi kontrak tersebut bukan diberikan okeh perusahaan pemberi kerja tetapi oleh perusahaan yang merupakan perusahaan penggerak tenaga kerja (HP Rajagukguk, 2002;79). Jadi saya menarik kesimpulan bahwa system out scorching itu terdapat tiga pihak yang terkait dalam perjanjian tersebut. Yaitu:
1. Perusahaan tenaga penggerak kerja
2. Perusahaan pemberi kerja
3. Pekerja


Dari ketiga pihak diatas dapat diidentifikasi adanya tiga hubungan kerja antara:
1. Pengerah / penyedia dan perusahaan pemberi kerja/pengguna
2. Pemberi kerja / pengguna dan pekerja
3. Pengerha / penyedia dan pekerja
Dari situ disimpulkan bahwa sipekerja secara hukum tidak memiliki hubungan kerja dengan perusahaan pemberi kerja / pengguna melainkan dengna perusahaan pengerah / penyedia tenaga kerja. Jadi seandainya si pekerja ada masalah dengan tempat kerja atau perusahaan, si pekerja tidak bisa langsung mengutarakan masalahnya ke perusahaan atau si pemberi kerja.
Pemerintah seharusnya lebih ketat dalam pengawasan terhadap perusahaan – perusahaan yang mempekerjakan pekerja dengan system out sourching mengenai syarat-syarat kerja, kesejahteraan maupun perizinan dari perusahaan Yang bersangkutan agar antara pekerja dan perusahaan sama-sama mendapat keuntungan dan tidak ada pihak yang rugi. Dan perlu adanya persamaan prinsip antara pemerintah dengan pengusaha tentang jenis-jenis pekerjaan yang dapat di out sourchingkan.

Kontrak kerja konstruksi

Pada umumnya kontrak menunjuk pada konsep perjanjian atau ikatan antara dua pihak yang saling memiliki hajat yang harus diikat melalui perjanjian. Kata kontrak sendiri berasal dari bahasa inggris yaitu contract atau overennkomst dalam bahasa belanda yang berarti perjanjian. Di Negara kita Indonesia sendiri perjanjian di atur dalam UU pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi, “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”
Pengertian perjanjian yang lain adalah hubungan subjek hukum yang satu dengan yang laindalam bidang harta kekayaan. di mana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya. Dalam pengertian-pengertian tersebut terdapat beberapa unsur, yakni : adanya hubungan hukum, mengenai kekayaan, antara 2 Orang/lebih, memberikan hak, meletakkan kewajiban pada pihak lain, adanya prestasi. Kemudian untuk sahnya perjanjian dapat dilihat dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat: kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu pokok persoalan tertentu; suatu sebab yang tidak terlarang.”

Kalau menurut ebook yang saya download di situs pdf, dengan judul hukum jasa konstruksi mengutarakan bahwa, perjanjian adalah peristiwa dimana seseorang berjanji pada orang lain, atau dua orang yang berrjanji yang mengakibatkan timbulnya perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak (kreditur berhak menuntut dan debitur berhak memenuhi tuntutan). dan perjanjian atau persetujuan tertulis disebut kontrak.
Tujuan kontrak antara lain:
1. Timbulnya perikatan
2. Suatu perjanjian
3. Undang-Undang
4. Kesusilaan (misalnya: ikatan adat)
5. Perjanjiaan bersifat positif, yaitu ada kesepakatan berbuat/menghasilkan sesuatu.
6. Perjanjian bersifat negative, ada kesepakatan tidak berbuat/menghasilkan sesuatu.






Perikatan harus tertentu dan harus di tentukaan dan juga harus jelas.untuk type kontrak lumpsum, objek tertentu atau tergantung apa yang akan di buat. Sedangkan perikatan atau kontrak type unit price objek ditentukan kemudian.
Objek perikatan tersebut haarus benar-benar sesuai dengan hukum yang berlaku di Negara kita Indonesia. Sehingga kalau terjadi masalah pihak penegak hukum bisa langsung bertindak karena sudah sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.

Subjek perikatan

Tentunyaq subjek perikatan melibatkan dua orang ada yang bertanggung jawab atas prestasi dang ada juga yang berhak atas prestasi. Ada perikatan yang me3nyangkut pihak ketiga sebagai user, atau jaminan pihak ketiga.

System dan azas perjanjian
System perjanjian bersifat terbuka, artinya pihak yang terlibat6 dalam perjanjian berhak menentukan aturan-aturan dalam perjanjian asalkan sesuaia dengan isi perjanjian tersebut disetujui kedua belah pihak. Boleh bebas mengabaikan peraturan ketentuan hukum perdata.semua persetujuan yang dibuat menjadu undang-undang yang sah bagi kedua belah pihak.
Azas perjanjian adalah konsensualisme. Perjanjian berlaku sejak detik dicapai kesepakatan. Perjanjian sah ketik hal-hal pokok telah disepakati.

Syarat-syarat suatu perjanjian

1. Azas konsensulisme dalam KUHPT
2. Sepakat untuk mengikat diri
3. Cakap dalam membuat perjanjian
4. Menyangkut hal tertentu
5. Disebabkan oleh sesuatu yang halal
Dengan kata lain, terpenuhi;
- Syarat subjektif
- Tidak ada paksaan (sukarela)
- Subjek mempunyai kapasitas membuat perjanjian
- Syarat objektif
- Objek perjanjian tertentu
- Kausanya legal artinya tidak bertentangan dengan hukum
- Perjanjian dibawah tangan memerlukan akta notaries untuk memiliki kekuatan hukum, dan kelak kalau disangkal oleh salah satu pihak dalam perjanjian.

Batalnya suatu perjanjian

Perjanjian bisa dibatalkan demi hukum bila salah satu syarat objektif tidak dipenuhi atau terpenuhi. Perjanjian bisa dibatalkan jika kedua syarat subjektif tidak terpenuhi atau terpenuhi. Batas waktu permintaan pembatalan adalah 5 tahun (BW ps1454), terhitung:
1. Sejak orang cakap hukum
2. Sejak hari paksaan telah berhenti
3. Sejak hari dimana diketahui kehilafan atau penipuan

Pelaksanaan perjanjian

Pelaksanaan perjanjian berisi:
1. Hal atau akibat jika tidak melaksanakan isi perjanjian
2. Jika debitur tidak menepati janji maka dikuasakan pada hakim untuk mewujudkan
3. Perjanjian untuk berbuat sesuatu
4. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu
5. Hal undang-undang, adat kebiasaan dan kepatuhan pada pelaksanaan kegiatan perjanjian
6. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang tegas dinyatakan didalamnya, tetapi harus memuat adat/peraturan yang berlaku di daerah setempat, tempat terjadinya perjanjian
7. Hal itikad baik dalam perjanjian
8. Persyaratan atau tuntutan kepastian hukum (menjamin kepastian)
9. Dilaksanakan dengan itikad baik (memenuhi tuntutan keadilan)

Ganti rugi

Pengertian ganti rugi mencakup tiga hal:
1. Biaya adalah segala perongkosan atau dana yang telah terpakai untuk menunjang kegiatan yang dilaksanakan
2. Rugi adalah kerugian akibat factor-faktor karena kerudakan barang ketidak sesuaian mmutu yang di inginkanyang disebabkan oleh kelalaian debitur sehingga merugikan pihak kreditur
3. Bunga adalah kerugian berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan/diperhitungkan oleh kreditur
4. Ganti rugi yang dapat dituntut olek kreditur
5. Rugi yang betul-betul diderita oleh kreditur
6. Keuntungan yang hilang yang semestinya diperoleh oleh kreditur
7. Penetapan bunga
8. Ditetapkan dalam perjanjian
9. Jika tidak ditetapkan maka diberlakukan suku bunga yang ditetapkan oleh undang-undang
10. Sebesar deposito bang pemerintahan

Force majeur

Debitur dibebaskan membayar ganti rugi bila terkena keadaan memaksa yang membuatnya tidak mungkin melaksanakan prestasi yang diperjanjikan. Yang dimaksud keadaan memaksa adalah:
1. Terjadi setelah perjanjian dibuat
2. Terjadi pada debitur
3. Terjadinya tidak terduga
4. Tidak dapat dipertangngung jawabkan kepada debitur
5. Tidak sengaja
6. Tidak ada itikad buruk oleh debitur
Teori objektif; force majeur harus mempunyai ketidak mungkinan mutlak, bagi setiap orang tidak mungkin bosa melaksanakan prestasi tersebut.
Teori subjektif; keadaan memaksa harus memiliki keadaan yang tak mutlak, debitur masih bisa melaksanakan prestasi tetapi dengan pengorbanan yang sangat besar sehingga tidak selayaknnya pihak kreditur menuntut pihak debitur yang telah berusaha semaksimal mungkin.

sengketa kontrak kerja konstruksi dan kegagalan bangunan
kalau kita berbicara masalah kegagalan bangunan, kita pasti bertanya-tanya kenapa sampai gagal? Ini mungkin ada beberapa factor sehingga proyek yang di kerjakan gagal atau setelah bangunan berdiri terjadi kerusakan yang tidak sewarnya, maksudnya belum sampai sebulan ditempati sudah terjadi pennurunan lantai, inilah yang mungkin menjadi bagian dari kegagalan banguan. Tapi menurut saya kalau memang sudah terncana dengan benar dan matang yang namanya kegagalan bangunan tidak akan pernah terjadi. Kecuali kegagalan bangunan yang di akibatkan oleh gejolak alam, misalnya gempa sekian skala ricter, bisa jadi kita sebagai pemegang proyek juga tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin kita hanya bisa renovasi pasca bencana.



Contoh surat perjanjian yang saya dapat dan yang saja jadikan studi kasus,,
PERJANJIAN KERJA


Antara

Persatuan Pelajar Indonesia Komisariat Osaka Nara

Dan

Sekolah Dasar Sonosewu, Sonopakis, Bantul

Mengenai

Rekonstruksi Sekolah Dasar Sonosewu, Yogyakarta




Pada hari ini Kamis tanggal satu , bulan Nopember, tahun Dua ribu tujuh, kami yang bertanda tangan di bawah ini :

1
Ratno Bagus Edy Wibowo

: Ketua Persatuan Pelajar Indonesia Komisariat Osaka Nara, berkedudukan di 2-6-57 Hommachi, Toyonaka 560-0021, Jepang dalam Perjanjian Kerja ini bertindak untuk dan atas nama Persatuan Pelajar Indonesia Komisariat Osaka Nara (PPI-ON), selanjutnya disebut PIHAK KESATU.
2 Syamsudi , S.Pd. : Kepala Sekolah Dasar Sonosewu, Bantul, Yogyakarta, berkedudukan di Sonopakis, Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta 55182, Indonesia dalam Perjanjian Kerja ini bertindak untuk dan atas nama Sekolah Dasar Sonosewu, Bantul, Yogyakarta selanjutnya disebut PIHAK KEDUA.

Dengan terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa proyek rekonstruksi bangunan SD Sonosewu ini merupakan proyek amal (charity project) yang dananya diperoleh dari sumbangan masyarakat Jepang dan masyarakat Indonesia di Jepang yang dikumpulkan oleh mahasiswa Indonesia yang bergabung dalam PPI-ON, dan dana sumbangan khusus dari Toyonaka International Friendship Association (TIFA), yang berkedudukan di 4-7-17-109 Kita Sakurazuka, Toyonaka 560-0022 , Osaka, Jepang.
2. Bahwa dana sumbangan tersebut merupakan ungkapan rasa keprihatinan, empati serta keinginan yang tulus untuk meringankan beban saudara-saudara kita di Yogyakarta yang mengalami musibah akibat gempa bumi.
3. Bahwa kedudukan PPI-ON berada di Jepang, tidak mempunyai perwakilan di Indonesia sehingga memerlukan institusi di Indonesia yang dapat dipercaya, mau dan mampu melaksanakan pekerjaan rekonstruksi SD Sonosewu tersebut.
4. Bahwa Pihak Kedua, dalam kedudukannya sebagai Kepala Sekolah SD Sonosewu dipandang tepat untuk diserahi tugas sebagai pengelola dan penanggung jawab kegiatan rekonstruksi SD Sonosewu.
5. Bahwa Proposal Teknis tentang “Rekonstruksi Sekolah Dasar Sonosewu, Yogyakarta” yang disampaikan oleh PIHAK KEDUA kepada PIHAK KESATU telah diterima serta disetujui oleh PIHAK KESATU dengan pengertian bahwa jumlah kelas yang akan direkonstruksi bukan 4 (empat) buah namun 3 (tiga) buah karena alasan ketersediaan dana.

Maka kedua belah pihak dengan ini menyatakan setuju dan bersepakat untuk membuat suatu perjanjian kerja serta mengikatkan diri dalam melaksanakan perjanjian kerja tersebut dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat sebagaimana tercantum dalam pasal-pasal tersebut di bawah ini :



PASAL 1
PENGERTIAN

Kata-kata dan atau istilah-istilah di bawah ini mempunyai arti sebagaimana dijelaskan dalam pasal ini kecuali kalau ditentukan lain :

1. Perjanjian
Adalah perjanjian kerja antara PPI-ON dengan SD Sonosewu mengenai Rekonstruksi Sekolah Dasar Sonosewu, Yogyakarta.
2. PPI Osaka Nara
Adalah Persatuan Pelajar Indonesia di Osaka, yang selanjutnya disebut PPI-ON.
3. Sekolah Dasar Sonosewu, Yogyakarta
Adalah sekolah dasar negeri beralamat di Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul yang pada tanggal 27 Mei 2006 mengalami kerusakan akibat terjadinya gempa bumi yang selanjutnya disebut Sekolah.
4. Pekerjaan
Adalah pekerjaan rekonstruksi tiga buah kelas di SD Sonosewu yang didasarkan kepada Proposal Teknis
5. Proposal Teknis
Adalah rancangan teknis yang dibuat oleh PIHAK KEDUA dan disetujui oleh PIHAK KESATU.
6. PIHAK KETIGA
Adalah orang yang disetujui, ditunjuk dan diangkat oleh kedua belah pihak sebagai Ketua Panitia Pendamai untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul akibat pelaksanaan Perjanjian
7. Prestasi Pekerjaan
Adalah nilai bobot Pekerjaan yang telah diselesaikan oleh PIHAK KEDUA serta dilaporkan oleh PIHAK KEDUA kepada PIHAK KESATU dan disetujui oleh PIHAK KESATU


PASAL 2
TUGAS PEKERJAAN

PIHAK KESATU memberikan tugas kepada PIHAK KEDUA dan PIHAK KEDUA menerima tugas tersebut dari PIHAK KESATU yaitu melaksanakan Pekerjaan sebagaimana dimaksud butir (4) Pasal 1 Perjanjian


PASAL 3
PENGAWASAN PEKERJAAN

1. Pengendalian Pekerjaan yang terdiri dari pengawasan dan tindakan koreksi dilakukan oleh PIHAK KEDUA
2. PIHAK KEDUA wajib menyampaikan laporan tertulis, setiap bulan kepada PIHAK KESATU atas hasil pelaksanaan Pekerjaan.
3. Laporan sebagaimana dimaksud Ayat (2) pasal ini disampaikan pada minggu pertama setiap bulan untuk hasil Pekerjaan bulan sebelumnya


PASAL 4
JANGKA WAKTU PELAKSANAAN PEKERJAAN

1. Pekerjaan harus dilaksanakan oleh PIHAK KEDUA tahap demi tahap. PIHAK KEDUA belum dapat melanjutkan ke tahap berikutnya sebelum memperoleh persetujuan PIHAK KESATU.
2. Jangka waktu pelaksanaan Pekerjaan sampai selesai 100 % adalah 3.5 bulan terhitung mulai tanggal Perjanjian ini ditandatangani oleh kedua belah pihak atau berakhir pada tanggal 17 bulan Februari tahun 2008.
3. Jangka waktu pelaksanaan Pekerjaan dibagi dalam 2 (dua) tahap,yaitu : Tahap I Prestasi Pekerjaan harus mencapai 50 % (lima puluh persen) dalam waktu 60 hari kalender terhitung mulai tanggal 1 Nopember 2007 dan Tahap II , Prestasi Pekerjaan harus mencapai 100 % dalam waktu 48 hari kalender terhitung mulai tanggal 1 Januari 2008.
4. Jangka waktu penyelesaian Pekerjaan tidak dapat diubah oleh PIHAK KEDUA, kecuali terjadi “Kondisi Kahar” sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 Perjanjian atau adanya perintah penambahan volume pekerjaan dari PIHAK KESATU kepada PIHAK KEDUA secara tertulis, yang mengakibatkan penambahan waktu penyelesaian Pekerjaan.



PASAL 5
KONDISI KAHAR

1. Kondisi Kahar adalah keadaan atau peristiwa yang nyata-nyata di luar kekuasaan PIHAK KEDUA sehingga menyebabkan PIHAK KEDUA tidak dapat menyelesaikan seluruh atau sebagian Pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya. Yang termasuk Kondisi Kahar antara lain :
a) Bencana alam : gempa bumi, tanah longsor, banjir, angin ribut, badai, petir
b) Negara dalam keadaan darurat : perang, pemogokan, huru hara, pemberontakan dan epidemi Kebakaran
c) Kebijakan Pemerintah di bidang moneter
2. Apabila terjadi Kondisi Kahar, PIHAK KEDUA harus memberitahukan kepada PIHAK KESATU secara tertulis selambat-lambatnya dalam jangka waktu 14 (empatbelas) hari kalender sejak terjadinya Kondisi Kahar disertai dengan bukti-bukti yang syah .
3. Atas pemberitahuan PIHAK KEDUA, PIHAK KESATU dapat menyetujui atau menolak secara tertulis Kondisi Kahar tersebut dalam jangka waktu 3 x 24 jam, sejak diterimanya pemberitahuan tersebut dari PIHAK KEDUA
4. Jika dalam waktu 3 x 24 jam sejak diterimanya pemberitahuan dari PIHAK KEDUA tentang Kondisi Kahar tersebut, PIHAK KESATU tidak memberikan jawaban, maka PIHAK KESATU dianggap menyetujui adanya Kondisi Kahar tersebut.


PASAL 6
MASA PEMELIHARAAN

1. Masa pemeliharaan atas hasil Pekerjaan ditetapkan selama 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal Pekerjaan selesai dan diterima baik oleh PIHAK KESATU yang dinyatakan dalam Berita Acara Serah Terima Kesatu dan selesainya masa pemeliharaan dinyatakan dalam Berita Acara Serah Terima Kedua.
2. Jika selama masa pemeliharaan ditemukan kerusakan-kerusakan karena kesalahan penggunaan bahan dan atau pemasangan yang tidak sesuai dengan Proposal Teknis, maka PIHAK KEDUA wajib untuk memperbaikinya.
3. Jika perbaikan-perbaikan sebagaimana dimaksud Ayat (2) pasal ini melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud Ayat (1) pasal ini, maka masa pemeliharaan dihitung sampai dengan berakhirnya perbaikan tersebut.
4. Seluruh biaya yang dikeluarkan dalam masa pemeliharaan menjadi tanggungan PIHAK KEDUA.
5. Jika PIHAK KEDUA tidak melakukan perbaikan sebagaimana dimaksud Ayat (2) dan (3) pasal ini, maka PIHAK KESATU dapat menunjuk pihak lain untuk melaksanakan perbaikan tersebut dengan beban biaya ditanggung oleh PIHAK KEDUA


PASAL 7
HARGA BORONGAN PEKERJAAN

1. Jumlah harga borongan Pekerjaan dalam nominal rupiah adalah sebesar Rp. 240.000.000 (dua ratus empat puluh juta rupiah), yang mana jumlah tersebut akan ditransfer dalam mata uang Yen dengan nilai tukar yang berlaku pada saat waktu transfer seperti dimaksud pada pasal 8.
2. Jumlah harga borongan sebagaimana dimaksud Ayat (1) pasal ini sudah mencakup semua pengeluaran PIHAK KEDUA untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya dan semua pengeluaran yang digunakan untuk melaksanakan Pekerjaan beserta pajak-pajak dan biaya-biaya lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.


PASAL 8
TATA CARA PEMBAYARAN

Pembayaran harga borongan Pekerjaan sebagaimana dimaksud Ayat (1) Pasal 7 akan dilakukan secara bertahap dengan rincian sebagai berikut :
1. Pembayaran Kesatu sebesar 50 % (limapuluh persen) dari harga borongan Pekerjaan atau sebesar Rp. 120.000.000 (seratus dua puluh juta rupiah) dibayarkan kepada PIHAK KEDUA setelah Perjanjian ditanda tangani oleh kedua belah pihak dan dinyatakan dengan Berita Acara Penerimaan Pembayaran.
2. Pembayaran Kedua sebesar 10 % (sepuluh persen) dari harga borongan Pekerjaan atau sebesar Rp. 24.000.000 (dua puluh empat juta rupiah) dibayarkan kepada PIHAK KEDUA setelah Prestasi Pekerjaan mencapai 60 % (enampuluh persen).
3. Pembayaran selanjutnya dibayarkan sesuai Prestasi Pekerjaan yang dicapai dengan bobot minimum 10 % (sepuluh persen)
4. Setelah Prestasi Pekerjaan mencapai 100 % (seratus persen), keseluruhan pembayaran yang telah dilaksanakan tidak melebihi 95 % (sembilanpuluh lima persen) dari harga borongan Pekerjaan
5. Pembayaran terakhir sebesar 5 % (lima persen) dari harga borongan Pekerjaan atau sebesar Rp. 12.000.000 (dua belas juta rupiah) dibayarkan kepada PIHAK KEDUA setelah masa dan kewajiban pemeliharaan sebagaimana dimaksud Pasal 6 Perjanjian berakhir dan diterima dengan baik oleh PIHAK KESATU, dinyatakan dalam Berita Acara Serah Terima Kedua.
6. Semua pembayaran tersebut dilaksanakan melalui transfer bank ke nomor rekening 6640-01-014948-53-1 di Bank BRI atas nama SD SONOSEWU.



PASAL 9
KENAIKAN HARGA
1. Kenaikan harga bahan-bahan, alat peralatan dan upah selama masa pelaksanaan Pekerjaan ditanggung sepenuhnya oleh PIHAK KEDUA.
2. Pada dasarnya PIHAK KEDUA tidak dapat mengajukan tuntutan atas kenaikan harga bahan-bahan, alat peralatan dan upah kecuali jika terjadi kebijakan pemerintah Republik Indonesia di bidang moneter yang diumumkan secara resmi dan nyata-nyata mengakibatkan kenaikan harga.

PASAL 10
PEKERJAAN TAMBAH KURANG

1. Penambahan atau pengurangan Pekerjaan dianggap syah jika telah disetujui oleh kedua belah pihak.
2. Perhitungan biaya penambahan atau pengurangan Pekerjaan didasarkan kepada harga yang disetujui oleh kedua belah pihak
3. Apabila Peraturan yang berhubungan dengan Perjanjian yang dikeluarkan oleh instansi Pemerintah yang berwenang di luar PIHAK KESATU menyebabkan perlu adanya perubahan-perubahan dalam syarat-syarat perjanjian maka perubahan tersebut mengikat PIHAK KESATU dan PIHAK KEDUA sejak berlakunya Peraturan.
4. Adanya pekerjaan tambah-kurang tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk merubah waktu penyelesaian Pekerjaan, kecuali atas persetujuan tertulis dari PIHAK KESATU


PASAL 11
SANKSI DAN DENDA

1. Penangguhan pembayaran dapat dilakukan oleh PIHAK KESATU dengan pemberitahuan tertulis sebelumnya kepada PIHAK KEDUA, jika PIHAK KEDUA tidak melakukan kewajiban sesuai perjanjian kerja.
2. Pemberitahuan penangguhan pembayaran oleh PIHAK KESATU disertai penjelasan secara rinci tentang dasar penangguhan;
3. Jika PIHAK KEDUA setelah memperoleh peringatan tertulis dari PIHAK KESATU sampai 3 (tiga) kali berturut-turut tidak mengindahkan kewajiban-kewajibannya sebagaimana dimaksud Pasal 2, Ayat (2) dan (3) Pasal 3 serta Ayat (2) Pasal 6 Perjanjian, maka untuk setiap kali melakukan kelalaian, PIHAK KEDUA wajib membayar denda kelalaian sebesar 10/00 (1 permil) dari harga borongan Pekerjaan dengan ketentuan bahwa PIHAK KEDUA tetap berkewajiban untuk memenuhi ketentuan dalam ayat-ayat yang tercantum pada ayat ini.
4. Jika PIHAK KEDUA tidak dapat menyelesaikan Pekerjaan sesuai tahap sebagaimana dimaksud Ayat (3) Pasal 4 Perjanjian maka untuk setiap hari keterlambatan PIHAK KEDUA dikenakan denda sebesar 10/00 (1 permil) dari harga borongan Pekerjaan
5. Jika terjadi keterlambatan penyelesaian Pekerjaan pada setiap tahap sebagaimana dimaksud Ayat (3) Pasal 4 Perjanjian melebihi 50 (limapuluh) hari kalender maka PIHAK KESATU berhak memutuskan Perjanjian secara sepihak setelah memberikan peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut kepada PIHAK KEDUA
6. Tidak ada denda dalam hal terjadi KONDISI KAHAR sebagaimana dimaksud Pasal 5 Perjanjian
7. Perhitungan dan eksekusi denda sebagaimana dimaksud Ayat (3) dan (4) pasal ini akan dilakukan oleh PIHAK KESATU sekaligus pada saat pembayaran terakhir harga borongan Pekerjaan yang pembayarannya akan disetor secara tunai.


PASAL 12
LAPORAN

1. PIHAK KEDUA wajib membuat laporan berkala sebagaimana dimaksud Ayat (2) dan (3) Pasal 3 Perjanjian
2. PIHAK KEDUA wajib membuat dan menyerahkan kepada PIHAK KESATU foto-foto dokumentasi yang tersusun dalam album kegiatan proyek tentang pelaksanaan/perkembangan mulai dari awal kegiatan sampai selesai, sebanyak 2 (dua) eksemplar
3. Pada akhir Pekerjaan, PIHAK KEDUA wajib menyerahkan kepada PIHAK KESATU :
a) Gambar pelaksanaan (as built drawing) yang dibuat di atas kertas kalkir sebanyak 1 (satu) eksemplar
b) Laporan Akhir Pekerjaan yang ditulis dalam bahasa Indonesia sebanyak 2 (dua) eksemplar
c) Soft copy dari Laporan Akhir Pekerjaan



PASAL 13
MASA BERLAKUNYA PERJANJIAN KERJA
Perjanjian ini mulai berlaku dan mengikat kedua belah pihak terhitung sejak ditandatangani oleh kedua belah pihak dan berakhir apabila pelaksanaan Pekerjaan telah selesai dan kedua belah pihak telah memenuhi semua kewajiban yang ditentukan dalam Perjanjian

PASAL 14
PENYELESAIAN PERSELISIHAN

1. Jika terjadi perselisihan antara kedua belah pihak, maka pada dasarnya akan diselesaikan secara musyawarah.
2. Jika perselisihan itu tidak dapat diselesaikan secara musyawarah, maka akan diselesaikan oleh suatu “Panitia Pendamai” yang dibentuk dan diangkat oleh kedua belah pihak, yang terdiri dari :
i. Seorang wakil dari PIHAK KESATU sebagai anggota
ii. Seorang wakil dari PIHAK KEDUA sebagai anggota
iii. PIHAK KETIGA, sebagai Ketua
3. Keputusan “Panitia Pendamai” ini mengikat kedua belah pihak, biaya penyelesaian perselisihan yang dikeluarkan menjadi tanggung jawab kedua belah pihak.


PASAL 15
PEMUTUSAN PERJANJIAN KERJA

1. PIHAK KESATU dapat membatalkan secara sepihak Perjanjian Kerja ini tanpa menggunakan Pasal 1266 dan 1267 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, setelah PIHAK KESATU memberikan peringatan/teguran tertulis 3 (tiga) kali berturut-turut tetapi PIHAK KEDUA tetap tidak mengindahkannya dalam hal PIHAK KEDUA :

a) Dalam waktu 30 (tigapuluh) hari sejak berlakunya Perjanjian tidak melaksanakan Pekerjaan
b) Melakukan keterlambatan sebagaimana dimaksud Ayat (5) Pasal 11 Perjajian
c) Dalam waktu satu bulan berturut-turut tidak melanjutkan Pekerjaan yang telah dimulai.
d) Secara langsung atau tidak langsung dengan sengaja memperlambat penyelesaian Pekerjaan yang ditugaskan oleh PIHAK KESATU.
e) Memberikan keterangan tidak benar yang merugikan atau dapat merugikan PIHAK KESATU sehubungan dengan Pekerjaan.
f) Denda keterlambatan telah mencapai maksimum 5% dari harga borongan Pekerjaan sebagaimana dimaksud Ayat (5) Pasal 11 Perjanjian
2. Jika terjadi pemutusan Perjanjian, maka PIHAK KESATU dapat menunjuk Kontraktor lain untuk menyelesaikan sisa Pekerjaan yang belum dilaksanakan oleh PIHAK KEDUA
3. Jika terjadi pemutusan Perjanjian karena salah satu atau beberapa alasan sebagaimana dimaksud Ayat (1) pasal ini maka PIHAK KEDUA tidak berhak menuntut ganti rugi kepada PIHAK KESATU, tetapi berhak atas pembayaran Prestasi Pekerjaan yang telah dicapainya.
4. Selain yang tersebut dalam, Ayat (1) pasal ini maka Perjanjian hanya dapat dibatalkan dengan persetujuan tertulis dari Kedua Belah Pihak.



PASAL 16
L A I N – L A I N

Perjanjian ini, dengan rasa saling percaya dan didasari itikad baik dari kedua belah pihak untuk melaksanakannya, ditandatangani di Yogyakarta.. pada tanggal sebagaimana tersebut di awal Perjanjian dan dibuat dalam rangkap 2 (dua) masing-masing bermaterai cukup dan mempunyai kekuatan hukum yang sama.



PIHAK KEDUA:
Kepala Sekolah Dasar Sonosewu, Bantul, Yogyakarta PIHAK KESATU:
Ketua PPI Osaka Nara







Syamsudi, S. Pd. Ratno Bagus Edy Wibowo



Dari surat perjanjian diatas, setelah dibaca dan dipahami, menurut saya sudah lengkap dari segis yarat-syarat, isi perjanjian seperti yang telah di uraikan sebelumnya. Sehingga kalau pun terjadi masalah misalkan tidak bisa berprestasi maka di dalam pasal tersebut ada yang membahsa nya. Yaitu pada pasal 5 kondisi kahar. kalau saya tadi menulis force mejeur. Mungkin katanya saja yang beda tetapi dalam pengertian yang sama dan juga tujuan yang sama.

Minggu, 31 Oktober 2010

Wawasan Bagi Seorang Arsitek

Wawasan Bagi Seorang Arsitek

Oleh Prof. Ir. Sidharta (4 Agustus 1984/ FT)

Pengetahuan yang luas sangat perlu bagi seorang arsitek, pada masa sekarang ini di mana praktek arsitektur menjadi sangat rumit dan menghendaki persyaratan yang lebih luas terhadap tenaga-tenaga dari bermacam kemampuan disiplin ilmu, permasalahan yang beragam dari berbagai bidang disiplin ilmu yang berbeda tidak mungkin seorang arsitek menangani sendiri secara tuntas, maka dari itu harus didampingi ahli lain dalam bidang ilmu tertentu. Konsep dalam arsitektur merupakan ide/gagasan dasar yang mengintegrasikan bermacam pengertian, program, hasil observasi dan persyaratan menjadi kesatuan,

Teori barat yang dijadikan pedoman tidak selayaknya diterapkan begitu saja dalam pendidikan arsitek dan profesi di Indonesia, karena arsitek kita memiliki teori yang berupa kaidah-kaidah, aturan yang biasanya ada kaitannya dengan agama, kepercayaan atau pandangan hidup masyarakat, dengan demikian sikap yang perlu dimiliki arsitek Indonesia adalah mensenyawakan inovasi dan teknologi maju dengan kaidah-kaidah perancangan arsitektur yang bersumber dari daerah tempat bangunan berpijak dengan selalu mempertimbangkan norma, tata nilai dan tingkah laku manusia yang menggunakannya.

Dalam penelitian ini untuk mengembangkan masa depan arsitekur Indonesia, perlu lebih digalakkan penelitian-penelitian guna menggali khasanah arsitektur dengan segala latar belakang sosial yang berbeda dengan harapan hasil penelitian tersebut dapat dimanfaatkan sebagai landasan atau pertimbangan penting dalam proses perancangan arsitekur, agar tercipta karya-karya arsitektur yang bernuansa Indonesia.(eb)

Disini saya bisa menyimpulkan beberapa hal,

- masalah arsitek adalah masalah yang kompleks, semakin hari semakin bertamabh dan ini memerlukn beberapa disipli ilmu, jadi kita sebagai arsitek tidak hanya tahu soal merancang tetapi harus tahu hukum pranata pembangunan arsitek

- kita seharusnya tidak langsung menerapkan hasil penelitian dari luar(barat) untuk menyelesaikan masalah yang ada di indonesi, karena seperti yang terlah di uraikan di atas, kita dengan mereka berbeda, sangat jelas berbeda. sehingga mautidak mu sebelum kita menerapkan sebuah konsep terlebih dahulu kita harus menelitinya. hal apa yang sesuai dan sejalan dengan kita( di indonesia) baik itu mengenai tata cara pembangunan, maupun dalam konsep perancangan. ni bisa kita lihat seperti konsep, minimalis, modern dan sebagainya.

- seharusnya kita sebagai bangsa indonesia memanfaatkan perbedaan yang ada sebagai kekayaqn atau sebagai sumber inspirasiuntuk membangun indonesia kedepannya agar tercipta hubungn yang berkesinambungan antara pengguna, bangunan dan juga lingkunga..

Hukum Pranata Pembangunan Arsitektur

Hukum pranata pembangunan

Hukum pranata pembangunan arsitektur sangat penting kita ketahui agar kita tidak di bodohi oleh orang yang ahli dalam hukum. Penting bagi kita sebagai arsitek batasan-batasan yang harus kita tahu sehingga nantinya kita terarah dan tidak salah arah dalam merumuskan tujuan kita dalam merancang, membangun, dan juga menciptakan sebuah karya arsitektur.

Apalagi di zaman sekarang banyak kita temui pembangunan yang bermasalah. baik itu masalah lahan, (pembebasan lahan), salah struktur, salah fungsi setelah bngunan selesai di bangun. Disinilh pentingya kita tahu apa sebenarnya penyebab masalah itu terjadi, sehingga nantinya kita tidak terlibat dalam msalah tersebut.

Pranata dalam pengertian umum adalah interaksi antar individu/kelompok dalam kerangka peningkatan kesejahteraan atau kualitas hidup, dalam arti khusus bahwa terjadi interaksi antar aktor pelaku pembangunan untuk menghasilkan fisik ruang yang berkualitas. Pranata di bidang arsitektur dapat dikaji melalui pendekatan sistem, karena fenomena yang ada melibatkan banyak pihak dengan fungsi berbeda dan menciptakan anomaly yang berbeda sesuai kasus masing-masing.

Didalam proses membentuk ruang dari akibat kebutuhan hidup manusia, maka ada cara (teknik) dan tahapan (metoda) untuk berproduksi dalam penciptaan ruang. Secara hirarki dapat disebutkan ‘ruang tidur’ ruang untuk istirahat sampai dengan ‘ruang kota’ ruang untuk melakukan aktifitas sosial, ekonomi, dan budaya. Secara fungsi ruang memiliki peran yang berbeda menurut tingkat kebutuhan hidup manusia itu sendiri, seperti ruang makan, ruang kerja, ruang baca, dan seterusnya. Secara structural ruang memiliki pola susunan yang beragam, ada yang liniear, radial, mengelompok, dan menyebar. Estetika adalah pertimbangan penciptaan ruang yang mewujudkan rasa nyaman, rasa aman, dan keindahan.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, permasalahan dalam pembangunan menjadi semakin kompleks. Artinya ruang yang dibangun oleh manusia juga mengalami banyak masalah. Salah satu masalah adalah persoalan mekanisme/ikatan/pranata yang menjembatani antara fungsi satu dengan fungsi lainnya. Masalah ke-pranata-an ini menjadi penting karena beberapa hal akan menyebabkan turunnya kualitas fisik, turunnya kualitas estetika, dan turunnya kuantitas ruang dan materinya, atau bahkan dalam satu bangunan akan terjadi penurunan kuantitas dan kualitas bangunan tetapi biaya tetap atau menjadi berlebihan.
Kegiatan pembangunan memiliki empat unsur pokok, adalah manusia, kekayaan alam, modal, dan teknologi. Pembangunan sebagai suatu sistem yang kompleks mengalami proses perubahan dari yang sederhana sampai dengan yang rumit/kompleks. Proses perubahan tersebut mengalami perkembangan perubahan cara pandang, beberapa cara pandang tersebut adalah pertumbuhan (GROWTH), perubahan strukutr (STRUCTURAL CHANGE), ketergantungan (DEPENDENCY), pendekatan sistem (SYSTEM APPROACH), dan penguasaan teknologi (TECHNOLOGY).

Minggu, 24 Oktober 2010

Peratutan Pemerintah tentang Konstruksi

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 1999
TENTANG
JASA KONSTRUKSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

b. bahwa jasa konstruksi merupakan salah satu kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya yang mempunyai peranan penting dalam pencapaian berbagai sasaran guna menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional;

c. bahwa berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku belum berorientasi baik kepada kepentingan pengembangan jasa konstruksi sesuai dengan karakteristiknya, yang mengakibatkan kurang berkembangnya iklim usaha yang mendukung peningkatan daya saing secara optimal, maupun bagi kepentingan masyarakat;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, b, dan c diperlukan Undang-undang tentang Jasa Konstruksi;
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG JASA KONSTRUKSI.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
*9546 1. Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi;
2. Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain;
3. Pengguna jasa adalah orang perseorangan atau badan sebagai pemberi tugas atau pemilik pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa konstruksi;
4. Penyedia jasa adalah orang perseorangan atau badan yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi;
5. Kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi;
6. Kegagalan bangunan adalah keadaan bangunan, yang setelah diserahterimakan oleh penyedia jasa kepada pengguna jasa, menjadi tidak berfungsi baik secara keseluruhan maupun sebagian dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi atau pemanfaatannya yang menyimpang sebagai akibat kesalahan penyedia jasa dan/atau pengguna jasa;
7. Forum jasa konstruksi adalah sarana komunikasi dan konsultasi antara masyarakat jasa konstruksi dan Pemerintah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah jasa konstruksi nasional yang bersifat nasional, independen, dan mandiri;
8. Registrasi adalah suatu kegiatan untuk menentukan kompetensi profesi keahlian dan keterampilan tertentu, orang perseorangan dan badan usaha untuk menentukan izin usaha sesuai klasifikasi dan kualifikasi yang diwujudkan dalam sertifikat;
9. Perencana konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan atau bentuk fisik lain; 10. Pelaksana konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain; 11. Pengawas konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2

Pengaturan jasa konstruksi berlandaskan pada asas kejujuran *9547 dan keadilan, manfaat, keserasian, keseimbangan, kemandirian, keterbukaan, kemitraan, keamanan dan keselamatan demi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Pasal 3

Pengaturan jasa konstruksi bertujuan untuk :
a. memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas;
b. mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. mewujudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi.

Peraturan Pemerintah tentang perumahan & pemukiman

Undang-undang perumahan dan permukiman



Pasal 18
(1) Pemenuhan kebutuhan permukiman diwujudkan melalui pembangunan kawasan permukiman skala besar yang terencana secara menyeluruh dan terpadu dengan pelaksanaan yang bertahap.
(2) Pembangunan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditujukan untuk :
a. menciptakan kawasan permukiman yang tersusun atas satuan-satuan lingkungan permukiman;
b. mengintegrasikan secara terpadu dan meningkatkan kualitas lingkungan perumahan yang telah ada di dalam atau di sekitarnya.
(3) Satuan-satuan lingkungan permukiman satu dengan yang lain saling dihubungkan oleh jaringan transportasi sesuai dengan kebutuhan dengan kawasan lain yang memberikan berbagai pelayanan dan kesempatan kerja.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah perkotaan dan rencana tata ruang wilayah bukan perkotaan.
Pasal 19
(1) Untuk mewujudkan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, pemerintah daerah menetapkan satu bagian atau lebih dari kawasan permukiman menurut rencana tata ruang wilayah perkotaan dan rencana tata ruang wilayah bukan perkotaan yang telah memenuhi persyaratan sebagai kawasan siap bangun.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi penyediaan :
a. rencana tata ruang yang rinci;
b. data mengenai luas, batas, dan pemilikan tanah;
c. jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan.
(3) Program pembangunan daerah dan program pembangunan sektor mengenai prasarana, sarana lingkungan, dan utilitas umum sebagian diarahkan untuk mendukung terwujudnya kawasan siap bangun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 20
(1) Pengelolaan kawasan siap bangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Penyelenggaraan pengelolaan kawasan siap bangun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan usaha milik negara dan/atau badan lain yang dibentuk oleh Pemerintah yang ditugasi untuk itu.
(3) Pembentukan badan lain serta penunjukan badan usaha milik negara dan/ atau badan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Dalam menyelenggarakan pengelolaan kawasan siap bangun, badan usaha milik negara atau badan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dapat bekerjasama dengan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, dan badan-badan usaha swasta di bidang pembangunan perumahan.
(5) Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak menghilangkan wewenang dan tanggung jawab badan usaha milik negara atau badan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(6) Persyaratan dan tata cara kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
(1) Penyelenggaraan pengelolaan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri yang bukan dilakukan oleh masyarakat pemilik tanah, dilakukan oleh badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang ditunjuk oleh Pemerintah.
(2) Tata cara penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
(1) Di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun Pemerintah memberikan penyuluhan dan bimbingan, bantuan dan kemudahan kepada masyarakat pemilik tanah sehingga bersedia dan mampu melakukan konsolidasi tanah dalam rangka penyediaan kaveling tanah matang.
(2) Pelepasan hak atas tanah di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun hanya dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan pemilik tanah yang bersangkutan.
(3) Pelepasan hak atas tanah di lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri yang bukan hasil konsolidasi tanah oleh masyarakat pemilik tanah, hanya dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan dengan pemilik hak atas tanah.
(4) Pelepasan hak atas tanah di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun yang belum berwujud kaveling tanah matang, hanya dapat dilakukan kepada Pemerintah melalui badan-badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2).
(5) Tata cara pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 23
Pembangunan perumahan yang dilakukan oleh badan usaha di bidang pembangunan perumahan dilakukan hanya di kawasan siap bangun atau di lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri.
Pasal 24
Dalam membangun lingkungan siap bangun selain memenuhi ketentuan pada Pasal 7, badan usaha di bidang pembangunan perumahan wajib :
a. melakukan pematangan tanah, penataan penggunaan tanah, penataan penguasaan tanah, dan penataan pemilikan tanah dalam rangka penyediaan kaveling tanah matang;
b. membangun jaringan prasarana lingkungan mendahului kegiatan membangun rumah, memelihara, dan mengelolanya sampai dengan pengesahan dan penyerahannya kepada pemerintah daerah;
c. mengkoordinasikan penyelenggaraan penyediaan utilitas umum;
d. membantu masyarakat pemilik tanah yang tidak berkeinginan melepaskan hak atas tanah di dalam atau di sekitarnya dalam melakukan konsolidasi tanah;
e. melakukan penghijauan lingkungan;
f. menyediakan tanah untuk sarana lingkungan;
g. membangun rumah.
Pasal 25
(1) Pembangunan lingkungan siap bangun yang dilakukan masyarakat pemilik tanah melalui konsolidasi tanah dengan memperhatikan ketentuan pada Pasal 7, dapat dilakukan secara bertahap yang meliputi kegiatan-kegiatan :
a. pematangan tanah;
b. penataan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah;
c. penyediaan prasarana lingkungan;
d. penghijauan lingkungan;
e. pengadaan tanah untuk sarana lingkungan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 26
(1) Badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang membangun lingkungan siap bangun dilarang menjual kaveling tanah matang tanpa rumah.
(2) Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 24, sesuai dengan kebutuhan setempat, badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang membangun lingkungan siap bangun dapat menjual kaveling tanah matang ukuran kecil dan sedang tanpa rumah.
(3) Kaveling tanah matang ukuran kecil, sedang, menengah, dan besar hasil upaya konsolidasi tanah milik masyarakat dapat diperjualbelikan tanpa rumah.
Pasal 27
(1) Pemerintah memberikan bimbingan, bantuan dan kemudahan kepada masyarakat baik dalam tahap perencanaan maupun dalam tahap pelaksanaan, serta melakukan pengawasan dan pengendalian untuk meningkatkan kualitas permukiman.
(2) Peningkatan kualitas permukiman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa kegiatan-kegiatan :
a. perbaikan atau pemugaran;
b. peremajaan;
c. pengelolaan dan pemeliharaan yang berkelanjutan.
(3) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
(1) Pemerintah daerah dapat menetapkan suatu lingkungan permukiman sebagai permukiman kumuh yang tidak layak huni.
(2) Pemerintah daerah bersama-sama masyarakat mengupayakan langkah-langkah pelaksanaan program peremajaan lingkungan kumuh untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat penghuni.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Peraturan pemerintah tentang perkotaan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 34 TAHUN 2009
TENTANG
PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN PERKOTAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: bahwa untuk memberikan pedoman bagi pemerintahan daerah dalam membentuk peraturan daerah mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan;

Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN PERKOTAAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Pengelolaan Kawasan Perkotaan adalah serangkaian kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian dalam upaya pencapaian tujuan pembangunan Kawasan Perkotaan secara efisien dan efektif.
2. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya.
3. Kawasan Perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi Kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
4. Kawasan Perkotaan Baru adalah kawasan perdesaan yang direncanakan untuk dikembangkan menjadi Kawasan berfungsi perkotaan.
5. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.
6. Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan adalah hasil dari suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang di Kawasan Perkotaan.
7. Pengendalian adalah serangkaian kegiatan manajemen pembangunan Kawasan Perkotaan yang dimaksudkan untuk menjamin agar program/kegiatan pembangunan dan pengelolaan Kawasan Perkotaan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang ditetapkan serta untuk mewujudkan tertib tata ruang Kawasan Perkotaan.
8. Lembaga Pengelola Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disebut Lembaga Pengelola adalah lembaga yang dibentuk dengan peraturan daerah untuk mengoptimalkan sumber-sumber yang dimiliki dunia usaha dan masyarakat dalam pembangunan Kawasan Perkotaan.
9. Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru yang selanjutnya disebut Badan Pengelola adalah badan yang dibentuk dengan peraturan bupati untuk melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan Kawasan Perkotaan Baru.
10. Masyarakat adalah orang seorang, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, atau badan hukum yang bermukim di Kawasan Perkotaan tersebut.
11. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan dalam negeri.

BAB II
BENTUK KAWASAN PERKOTAAN

Pasal 2
Kawasan Perkotaan dapat berbentuk:
a. kota sebagai daerah otonom;
b. bagian daerah kabupaten yang memiliki ciri perkotaan;
c. bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan langsung dan memiliki ciri perkotaan.

Pasal 3
(1) Pembentukan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a ditetapkan dengan undang-undang.
(2) Pembentukan Kawasan Perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b diatur dengan peraturan daerah kabupaten.
(3) Pembentukan Kawasan Perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c diatur dengan peraturan daerah kabupaten masing-masing.

Pasal 4
(1) Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian dari dua atau lebih daerah kabupaten yang berbatasan langsung dalam satu provinsi ditetapkan berdasarkan:
a. kesepakatan bersama antarpemerintahan daerah kabupaten;
b. persetujuan gubernur; dan
c. persetujuan Menteri.
(2) Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian dari dua atau lebih daerah kabupaten yang berbatasan langsung antarprovinsi ditetapkan berdasarkan:
a. kesepakatan bersama antarpemerintahan daerah kabupaten;
b. persetujuan gubernur; dan
c. persetujuan Menteri.

Pasal 5
Peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3) paling sedikit memuat nama, batas, luas, fungsi, dan pengelolaan Kawasan.
Pasal 6
Batas, luas, dan fungsi Kawasan ditentukan berdasarkan:
a. rencana pembangunan jangka panjang daerah kabupaten;
b. rencana tata ruang wilayah kabupaten;
c. hasil kajian kebutuhan ruang bagi pengembangan kegiatan dan pelayanan perkotaan; dan
d. batas Kawasan yang menggunakan batas desa atau sebutan lain.
BAB III
PENGELOLAAN KAWASAN PERKOTAAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 7
(1) Kawasan Perkotaan yang merupakan daerah otonom dikelola oleh pemerintah kota.
(2) Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian daerah kabupaten dikelola oleh pemerintah kabupaten atau Lembaga Pengelola yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada pemerintah kabupaten.
(3) Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan langsung dikelola bersama oleh pemerintah kabupaten terkait dan dikoordinasikan oleh pemerintah provinsi.

Bagian Kedua
Lembaga Pengelola

Pasal 8
(1) Lembaga Pengelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dibentuk dengan peraturan daerah.
(2) Lembaga Pengelola mempunyai tugas mengelola Kawasan Perkotaan dan mengoptimalkan peran serta Masyarakat serta badan usaha swasta.
(3) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Lembaga Pengelola mempunyai fungsi:
a. penggalian dan pendayagunaan sumber daya badan usaha swasta dan Masyarakat;
b. penjaringan aspirasi Masyarakat dan badan usaha swasta Kawasan Perkotaan;
c. pengembangan informasi Kawasan Perkotaan;
d. pemberian pertimbangan kepada bupati dalam kebijakan operasional, implementasi kebijakan, dan pemberdayaan Masyarakat; dan
e. perumusan dan pemberian rekomendasi terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan, serta isu-isu strategis Kawasan Perkotaan.

Pasal 9
(1) Anggota Lembaga Pengelola paling sedikit berjumlah 5 (lima) orang dan paling banyak berjumlah 7 (tujuh) orang.
(2) Keanggotaan Lembaga Pengelola terdiri atas:
a. pakar/ahli di bidang pengelolaan Kawasan Perkotaan; dan/atau
b. unsur Masyarakat pemerhati Kawasan Perkotaan.
(3) Keanggotaan Lembaga Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia/Tentara Nasional Indonesia, dan anggota partai politik.
(4) Masa jabatan anggota Lembaga Pengelola selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) periode masa jabatan.

Pasal 10
(1) Lembaga Pengelola dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh sekretariat Lembaga Pengelola yang dibentuk oleh bupati.
(2) Sekretariat Lembaga Pengelola mempunyai fungsi:
a. penyelenggaraan administrasi kesekretariatan Lembaga Pengelola; dan
b. penyelenggaraan administrasi keuangan Lembaga Pengelola.
(3) Sekretariat Lembaga Pengelola dipimpin oleh sekretaris Lembaga Pengelola.
(4) Sekretaris Lembaga Pengelola secara teknis operasional berada di bawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan Lembaga Pengelola dan secara administratif bertanggung jawab kepada sekretaris daerah melalui asisten yang membidangi ekonomi dan pembangunan.
(5) Struktur organisasi dan eselonering sekretariat Lembaga Pengelola ditetapkan Menteri dengan persetujuan menteri yang membidangi urusan pendayagunaan aparatur negara.

Pasal 11
Pendanaan Lembaga Pengelola bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan sumber pendanaan lainnya yang sah.
Pasal 12
(1) Pemerintah daerah melaksanakan pembinaan dan pengendalian terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi Lembaga Pengelola.
(2) Dalam melaksanakan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Pengelola menyampaikan laporan triwulan dan tahunan atau laporan lainnya kepada bupati.

Pasal 13
Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian tugas, tata kerja, dan hak keuangan Lembaga Pengelola diatur dengan peraturan bupati.
Bagian Ketiga
Pengelolaan Bersama

Pasal 14
(1) Kawasan Perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dalam hal penataan ruang dan penyediaan fasilitas pelayanan umum tertentu dikelola bersama oleh daerah terkait.
(2) Penyediaan fasilitas pelayanan umum tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas pelayanan umum yang merupakan urusan kewenangan daerah.
(3) Pemilihan penyediaan fasilitas pelayanan umum tertentu yang dikelola bersama oleh daerah terkait harus mempertimbangkan efektivitas, efisiensi, sinergitas, dan saling menguntungkan.
(4) Bentuk kelembagaan, susunan, kedudukan, dan tugas pokok pengelolaan bersama berpedoman pada peraturan perundangan-undangan.

Bagian Keempat
Perencanaan Pembangunan Kawasan Perkotaan

Pasal 15
(1) Perencanaan pembangunan Kawasan Perkotaan didasarkan pada kondisi, potensi, karakteristik Kawasan, dan keterkaitan dengan Kawasan di sekitarnya.
(2) Keterkaitan pembangunan Kawasan Perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan:
a. keterpaduan pembangunan antar Kawasan Perkotaan dengan Kawasan Perkotaan lainnya; dan
b. optimalisasi peran dan fungsi masing-masing Kawasan Perkotaan.

Pasal 16
Substansi rencana pembangunan Kawasan Perkotaan tertuang dalam dokumen:
a. rencana pembangunan jangka panjang daerah kabupaten/kota;
b. rencana tata ruang Kawasan Perkotaan;
c. rencana pembangunan jangka menengah daerah kabupaten/kota; dan
d. rencana kerja pembangunan daerah kabupaten/kota.
Pasal 17
(1) Lingkup perencanaan Kawasan Perkotaan memuat pengembangan, peremajaan, pembangunan, reklamasi pantai atau rawa, dan/atau perubahan fungsi lahan.
(2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Bagian Kelima
Pelaksanaan Pembangunan Kawasan Perkotaan

Pasal 18
Pembangunan Kawasan Perkotaan dilaksanakan sesuai urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota di Kawasan Perkotaan.
Bagian Keenam
Pengendalian Pembangunan Kawasan Perkotaan

Pasal 19
Pengendalian pembangunan Kawasan Perkotaaan dilaksanakan terhadap:
a. rencana pembangunan; dan
b. pelaksanaan rencana pembangunan.
Pasal 20
Pengendalian terhadap rencana pembangunan dilakukan melalui kegiatan pemantauan dan evaluasi dokumen rencana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 21
Pengendalian terhadap pelaksanaan rencana pembangunan dilakukan melalui kegiatan perizinan, pengawasan, dan/atau penertiban.
Pasal 22
(1) Pengendalian Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian dari daerah kabupaten dilakukan oleh bupati.
(2) Pengendalian Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian dari dua atau lebih kabupaten dilakukan oleh gubernur.
(3) Pengendalian Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian dari dua atau lebih kabupaten antarprovinsi dilakukan oleh Menteri.

BAB IV
KAWASAN PERKOTAAN BARU

Bagian Kesatu
Pembentukan Kawasan Perkotaan Baru

Pasal 23
(1) Kawasan perdesaan dapat direncanakan untuk menjadi Kawasan Perkotaan Baru.
(2) Perencanaan Kawasan Perkotaan Baru diprioritaskan untuk:
a. menyediakan ruang permukiman;
b. menyediakan ruang baru bagi kebutuhan industri, perdagangan, dan jasa;
c. menyediakan ruang bagi pelayanan jasa pemerintahan; dan/atau
d. menyediakan ruang bagi pembangunan pusat kegiatan strategis nasional, provinsi, dan kabupaten.

Pasal 24
Kawasan perdesaan yang direncanakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) paling sedikit memenuhi kriteria:
a. sesuai dengan rencana pembangunan jangka panjang daerah kabupaten;
b. sesuai dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten;
c. memiliki daya dukung lingkungan yang memungkinkan untuk pengembangan fungsi perkotaan;
d. bukan merupakan kawasan pertanian beririgasi teknis maupun yang direncanakan beririgasi teknis; dan
e. bukan merupakan kawasan lindung.
Pasal 25
(1) Usulan Lokasi rencana Kawasan Perkotaan Baru dapat diajukan oleh pihak swasta dan/atau unsur pemerintah daerah.
(2) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada bupati.
(3) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan:
a. hasil studi kelayakan;
b. rencana induk pembangunan perkotaan baru; dan
c. rencana pembebasan lahan.
(4) Bupati melakukan kajian terhadap pengajuan usul lokasi rencana Kawasan Perkotaan Baru berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
(5) Penetapan lokasi Kawasan Perkotaan Baru harus mendapat persetujuan gubernur.

Bagian Kedua
Badan Pengelola

Pasal 26
(1) Dalam hal pembangunan Kawasan Perkotaan Baru dilaksanakan sendiri oleh pemerintah daerah, pemerintah daerah dapat membentuk Badan Pengelola yang mempunyai tugas meliputi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan Kawasan Perkotaan Baru.
(2) Pembentukan Badan Pengelola ditetapkan dengan peraturan bupati.
(3) Peraturan bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat susunan, kedudukan, rincian tugas, tata kerja, dan pendanaan Badan Pengelola.

Pasal 27
(1) Badan Pengelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dibentuk untuk jangka waktu sampai dengan selesainya pembangunan Kawasan Perkotaan Baru.
(2) Setelah berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru menyerahkan hak pengelolaan beserta aset kepada bupati.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pengelola diatur dengan peraturan Menteri.

Bagian Ketiga
Pendanaan

Pasal 28
Sumber pendanaan Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru dapat berasal dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi/kabupaten;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; dan/atau
c. sumber pendanaan lainnya yang sah.
BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 29
Dalam perencanaan, pelaksanaan pembangunan, dan pengelolaan Kawasan Perkotaan, pemerintah daerah mengikutsertakan Masyarakat sebagai upaya pemberdayaan Masyarakat.
Pasal 30
Pemerintah provinsi dan kabupaten melakukan identifikasi untuk menetapkan Kawasan Perkotaan di wilayahnya selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun setelah Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 31
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 April 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 April 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ANDI MATTALATTA

Undang-Undang No.4 tahun 1992 tentang perumahan & permukiman

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 1992
TENTANG
PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

a. bahwa dalam pembangunan nasional yang pada hakikatnya
adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, perumahan dan
permukiman yang layak, sehat, aman, serasi, dan teratur
merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan
merupakan faktor penting dalam peningkatan harkat dan
martabat mutu kehidupan serta kesejahteraan rakyat dalam
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945;

b. bahwa dalam rangka peningkatan harkat dan martabat,
mutu kehidupan dan kesejahteraan tersebut bagi setiap
keluarga Indonesia, pembangunan perumahan dan
permukiman sebagai bagian dari pembangunan nasional perlu
terus ditingkatkan dan dikembangkan secara terpadu,
terarah, berencana, dan berkesinambungan;

c. bahwa peningkatan dan pengembangan pembangunan
perumahan dan permukiman dengan berbagai aspek
permasalahannya perlu diupayakan sehingga merupakan satu
kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan
ekonomi, dan sosial budaya untuk mendukung ketahanan
nasional, mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup,
dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia Indonesia
dalam berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara;

d. bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1964 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1962 tentang Pokok-Pokok Perumahan
(Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 40, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2476) menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2611) sudah tidak sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan keadaan, dan oleh karenanya
dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan
mengenai perumahan dan permukiman dalam Undang-
Undang yang baru;
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau
hunian dan sarana pembinaan keluarga;

2, Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan
tempal tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana
dan sarana lingkungan;

3. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung,
baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan;

4. Satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam
berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana
dan sarana lingkungan yang terstruktur;

5. Prasarana lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang
memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana
mestinya;

6. Sarana lingkungan adalah fasililas penunjang, yang berfungsi untuk
penyelenggaraan dan penqembangan kehidupan ekonomi, sosial dan
budaya;

7. Utilitas umum adalah sarana penunjang untuk pelayanan lingkungan;

8. Kawasan siap bangun adalah sebidang tanah yang fisiknya telah
dipersiapkan untuk pembangunan perumahan dan permukiman skala besar
yang terbagi dalam satu lingkungan siap bangun atau lebih yang
pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dengan lebih dahulu dilengkapi
dengan jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan sesuai dengan
rencana tata ruang lingkungan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah
Tingkat II dan memenuhi persyaratan pembakuan pelayanan prasarana dan
sarana lingkungan, khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta rencana
tata ruang lingkungannya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta;

9. Lingkungan siap bangun adalah sebidang tanah yang merupakan bagian
dari kawasan siap bangun ataupun berdiri sendiri yang telah dipersiapkan
dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan dan selain itu juga sesuai
dengan persyaratan pembakuan tata lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dan pelayanan lingkungan untuk membangun kaveling
tanah matang;

10. Kaveling tanah matang adalah sebidang tanah yang telah dipersiapkan
sesuai dengan persyaratan pembakuan dalam penggunaan, penguasaan,
pemilikan tanah, dan rencana tata ruang lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian untuk membangun bangunan;

11. Konsolidasi tanah permukiman adalah upaya penataan kembali
penguasaan, penggunaan, dan pemilikan tanah oleh masyarakat Pemilik
tanah melalui usaha bersama untuk membangun lingkungan siap bangun
dan menyediakan kaveling tanah matang sesuai dengan rencana tata ruang
yang ditetapkan Pemerintah Daerah Tingkat II, khusus untuk Daerah
Khusus Ibukota Jakarta rencana tata ruangnya ditetapkan oleh Pemerintah
Daerah Khusus Ibukota Jakarta.


Pasal 2

(1) Lingkup pengaturan Undang-undang ini meliputi
penataan dan
pengelolaan perumahan dari permukiman, baik di daerah perkotaan
maupun di daerah perdesaan, yang dilaksanakan secara terpadu dan
terkoordinasi.

(2) Lingkup Pengaturan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang
menyangkut penataan perumahan meliputi kegiatan pembangunan baru,
pemugaran, perbaikan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya,
sedangkan yang menyangkut penataan permukiman meliputi kegiatan
pembangunan baru, perbaikan, peremajaan, perluasan, pemeliharaan,
dan pemanfaatannya.









BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3

Penataan perumahan dan permukiman berlandaskan pada asas manfaat, adil
dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri,
keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup.

Pasal 4

Penataan perumahan dan permukiman bertujuan untuk :
a. memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia,
dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat;
b. mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan
yang sehat, aman, serasi, dan teratur;
c. memberi arah pada pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk yang
rasional;
d. menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan bidangbidang
lain.

BAB III
PERUMAHAN
Pasal 5

(1) Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau
menikmati dan/atau memilik i rumah yang layak dalam lingkungan yang
sehat, aman, serasi, dan teratur.
(2) Setiap warga negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk
berperan serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman.

Pasal 6

(1) Kegiatan pembangunan rumah atau perumahan dilakukan oleh pemilik hak
atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pembangunan rumah atau perumahan oleh bukan pemilik hak atas tanah
dapat dilakukan atas persetujuan dari pemilik hak atas tanah dengan
suatu perjanjian tertulis.

Pasal 7

(1) Setiap orang atau badan yang membangun rumah atau perumahan wajib :
a. mengikuti persyaratan teknis, ekologis, dan administratif;
b. melakukan pemantauan lingkungan yang terkena dampak berdasarkan
rencana pemantauan lingkungan;
c. melakukan pengelolaan lingkungan berdasarkan rencana pengelolaan
lingkungan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 8
Setiap pemilik rumah atau yang dikuasakannya wajib :
a. memanfaatkan rumah sebagaimana mestinya sesuai dengan fungsinya
sebagai tempat tinggal atau hunian;
b. mengelola dan memelihara rumah sebagaimana mestinya.
Pasal 9
Pemerintah dan badan-badan sosial atau keagamaan dapat menyelenggarakan
pembangunan perumahan untuk memenuhi kebutuhan khusus dengan tetap
memperhatikan ketentuan Undang-undang ini.
Pasal 10
Penghunian, pengelolaan dan pengalihan status dan hak atas rumah yang
dikuasai Negara diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Pemerintah melakukan pendataan rumah untuk menyusun kebijaksanaan
di bidang perumahan dan permukiman.
(2) Tata cara pendataan rumah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
(1) Penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan
atau izin pemilik.
(2) Penghunian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan baik dengan
cara sewa-menyewa maupun dengan cara bukan sewa-menyewa.
(3) Penghunian rumah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dengan cara
sewa-menyewa dilakukan dengan perjanjian tertulis, sedangkan
penghunian rumah dengan cara bukan sewa-menyewa dapat dilakukan
dengan perjanjian tertulis.
(4) Pihak penyewa wajib menaati berakhirnya batas waktu sesuai dengan
perjanjian tertulis.
(5) Dalam hal penyewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak bersedia
meninggalkan rumah yang disewa sesuai dengan batas waktu yang
disepakati dalam perjanjian tertulis, penghunian dinyatakan tidak sah
atau tanpa hak dan pemilik rumah dapat meminta bantuan instansi
Pemerintah yang berwenang untuk menertibkannya.
(6) Sewa-menyewa rumah dengan perjanjian tidak tertulis atau tertulis tanpa
batas waktu yang telah berlangsung sebelum berlakunya Undang-undang
ini dinyatakan telah berakhir dalam waktu 3 (tiga) tahun setelah
berlakunya Undang-undang ini.
(7) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 13
(1) Pemerintah mengendalikan harga sewa rumah yang dibangun dengan
memperoleh kem udahan dari Pemerintah.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
Sengketa yang berkaitan dengan pemilikan dan pemanfaatan rumah
diselesaikan melalui badan peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 15
(1) Pemilikan rumah dapat dijadikan jaminan utang.
(2) a. Pembebanan fidusia atas rumah dilakukan dengan akta otentik yang
dibuat oleh notaris sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
b. Pembebanan hipotek atas rumah beserta tanah yang haknya dimiliki
pihak yang sama dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 16
(1) Pemilikan rumah dapat beralih dan dialihkan dengan cara pewarisan atau
dengan cara pemindahan hak lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pemindahan pemilikan rumah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan akta otentik.
Pasal 17
Peralihan hak milik at as satuan rumah susun dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV
PERMUKIMAN
Pasal 18
(1) Pemenuhan kebutuhan permukiman diwujudkan melalui pembangunan
kawasan permukiman skala besar yang terencana secara menyeluruh dan
terpadu dengan pelaksanaan yang bertahap.
(2) Pembangungan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) ditujukan untuk :
a. Menciptakan kawasan permukiman yang tersusun atas satuan-satuan
lingkungan permukiman;
b. Mengintegrasikan secara terpadu dan meningkatkan kualitas
lingkungan perumahan yang telah ada di dalam atau disekitarnya.
(3) Satuan-satuan lingkungan permukiman satu dengan yang lain saling
dihubungkan oleh jaringan transportasi sesuai dengan kebutuhan dengan
kawasan lain yang memberikan berbagai pelayanan dan kesempatan kerja.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah perkotaan
dan rencana tata ruang wilayah bukan perkotaan.
Pasal 19
(1) Untuk mewujudkan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18, pemerintah daerah menetapkan satu bagian atau lebih dari
kawasan permukiman menurut rencana tata ruang wilayah perkotaan dan
rencana tata ruang wilayah bukan perkotaan yang telah memenuhi
persyaratan sebagai kawasan siap bangun.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya
meliputi penyediaan :
a. rencana tata ruang yang rinci;
b. data mengenai luas, batas, dan pemilikan tanah
c. jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan.
(3) Program pembangunan daerah dan program pembangunan sektor
mengenai prasarana, sarana lingkungan, dan utilitas umum sebagian
diarahkan untuk mendukung terwujudnya kawasan siap bangun
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
(1) Pengelolaan kawasan siap bangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Penyelenggaraan pengelolaan kawasan siap bangun sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan oleh badan usaha milik Negara dan/atau badan
lain yang dibentuk oleh Pemerintah yang ditugasi untuk itu.
(3) Pembentukan badan lain serta penunjukkan badan usaha milik negara
dan/atau badan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(4) Dalam menyelenggarakan pengelolaan kawasan siap bangun, badan usaha
milik negara atau badan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
ayat (3) dapat bekerjasama dengan badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, koperasi, dan badan-badan usaha swasta di bidang
pembangunan perumahan.
(5) Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak menghilangkan
wewenang dan tanggungjawab badan usaha milik negara atau badan lain
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(6) Persyaratan dan tata cara kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
(1) Penyelenggaraan pengelolaan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri
yang bukan dilakukan oleh masyarakat pemilik tanah, dilakukan oleh
badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang ditunjuk oleh
Pemerintah.
(2) Tata cara penunjukkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
(1) Di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun Pemerintah
memberikan penyuluhan dan bimbingan, bantuan dan kemudahan kepada
masyarakat pemilik tanah sehingga bersedia dan mampu melakukan
konsolidasi tanah dalam rangka penyediaan kaveling tanah matang.
(2) Pelepasan hak atas tanah di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap
bangun hanya dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan pemilik tanah
yang bersangkutan.
(3) Pelepasan hak atas tanah di lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri
yang bukan hasil konsolidasi tanah oleh masyarakat pemilik tanah, hanya
dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan dengan pemilik hak atas tanah.
(4) Pelepasan hak atas tanah di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap
bangun yang belum berwujud kaveling tanah matang, hanya dapat
dilakukan kepada Pemerintah melalui badan-badan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (2).
(5) Tata cara pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
Pembangunan perumahan yang dilakukan oleh badan usaha di bidang
pembangunan perumahan dilakukan hanya di kawasan siap bangun atau di
lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri.
Pasal 24
Dalam membangun lingkungan siap bangun selain memenuhi ketentuan pada
Pasal 7, badan usaha dibidang pembangunan perumahan wajib :
a. melakukan pematangan tanah, penataan penggunaan tanah, penataan
penguasaan tanah, dan penataan pemilikan tanah dalam rangka
penyediaan kaveling tanah matang;
b. membangun jaringan prasarana lingkungan mendahului kegiatan
membangun rumah, memelihara, dan mengelolanya sampai dengan
pengesahan dan penyerahannya kepada pemerintah daerah;
c. mengkoordinasikan penyelenggaraan penyediaan utilitas umum;
d. membanlu masyarakat pemilik tanah yang tidak berkeinginan melepaskan
hak atas tanah di dalam atau di sekitarnya dalam melakukan konsolidasi
tanah;
e. melakukan penghijauan lingkungan;
f. menyediakan tanah untuk sarana lingkungan;
g. membangun rumah.
Pasal 25
(1) Pembangunan lingkungan siap bangun yang dilakukan masyarakat pemilik
tanah melalui konsolidasi tanah dengan memperhatikan ketentuan pada
Pasal 7, dapat dilakukan secara bertahap yang meliputi kegiatan -
kegiatan :
a. pematangan tanah;
b. penataan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah;
c. penyediaan prasarana lingkungan;
d. penghijauan lingkungan;
e. pengadaan tanah untuk sarana lingkungan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
(1) Badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang membangun
lingkungan siap bangun dilarang menjual kaveling tanah matang tanpa
rumah.
(2) Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 24, sesuai dengan kebutuhan
setempat, badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang
membangun linkungan siap bangun dapat menjual kaveling tanah matang
ukuran kecil dan sedang tanpa rumah.
(3) Kaveling tanah matang ukuran kecil, sedang, menengah, dan besar hasil
upaya konsolidasi tanah milik masyarakat dapat diperjualbelikan tanpa
rumah.
Pasal 27
(1) Pemerintah memberikan bimbingan, bantuan dan kemudahan kepada
masyarakat baik dalam tahap perencanaan maupun dalam tahap
pelaksanaan, serta melakukan pengawasan dan pengendalian untuk
meningkatkan kualitas permukiman.
(2) Peningkatan kualitas permukiman sebagaimana dimaksud dalam ayal (1)
berupa kegiatan-kegiatan :
a. perbaikan atau pemugaran;
b. peremajaan;
c. pengelolaan dan pemeliharaan yang berkelanjutan.
(3) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
(1) Pemerintah daerah dapat menetapkan suatu lingkungan permukiman
sebagai permukiman kumuh yang tidak layak huni.
(2) Pemerintah daerah bersama-sama masyarakat mengupayakan langkahlangkah
pelaksanaan program peremajaan lingkungan kumuh untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat penghuni.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah
BAB V
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 29
(1) Setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan yang sama dan
seluas-luasnya untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan dan
permukiman.
(2) Pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat dilakukan secara perseorangan atau dalam bentuk usaha
bersama.
BAB VI
PEMBINAAN
Pasal 30
(1) Pemerintah melakukan pembinaan di bidang perumahan dan permukiman
dalam bentuk pengaturan dan pembimbingan, pemberian bantuan dan
kemudahan, penelitian dan pengembangan, perencanaan dan
pelaksanaan, serta pengawasan dan pengendalian.
(2) Pemerintah melakukan pembinaan badan usaha di bidang perumahan dan
permukiman.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
Pembangunan perumahan dan permukiman diselenggarakan berdasarkan
rencana tata ruang wilayah perkotaan dan rencana tata ruang wilayah bukan
perkotaan yang menyeluruh dan terpadu yang ditetapkan oleh pemerintah
daerah dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait serta rencana,
program, dan priorilas pembangunan perumahan dan permukiman.
Pasal 32
(1) Penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan dan permukiman
diselenggarakan dengan:
a. penggunaan tanah yang langsung dikuasai Negara;
b. konsolidasi tanah oleh pemilik tanah;
c. pelepasan hak atas tanah oleh pemilik tanah yang dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Tata cara penggunaan tanah yang langsung dikuasai Negara dan tatacara
konsolidasi tanah oleh pemilik tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) butir a dan b diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 33
(1) Untuk memberikan bantuan dan/atau kemudahan kepada masyarakat
dalam membangun rumah sendiri atau memiliki rumah, Pemerintah
melakukan upaya pemupukan dana.
(2) Bantuan dana/atau kemudahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berupa kredit perumahan.
Pasal 34
Pemerintah memberikan pembinaan agar penyelenggaraan pembangunan
perumahan dan permukiman selalu memanfaatkan teknik dan teknologi,
industri bahan bangunan, jasa konstruksi, rekayasa dan rancang bangun yang
tepat guna dan serasi dengan lingkungan.
Pasal 35
(1) Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang perumahan dan
permukiman kepada pemerintah daerah.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 36
(1) Setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan dalam Pasal
7 ayat (1), Pasal 24, dan Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 10 (seputuh) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap orang karena kelalaiannya mengakibatkan pelanggaran atas
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dipidana dengan
pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggitingginya
Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
(3) Setiap badan karena kelalaiannya mengakibatkan pelanggaran atas
ketenluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 24 Pasal 26
ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun
dan/atau denda setinggi-tingginya Rp.100.000.000.00(seratus juta rupiah).
(4) Setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal
12 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun
dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,00 (duapuluh juta
rupiah).
Pasal 37
Setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan harga tertinggi
sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 2 (dua) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,00
(dua puluh juta rupiah).
BAB VIII
KETENTUAN LAIN-IAIN
Pasal 38
Penerapan ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 tidak
menghilangkan kewajibannya untuk tetap memenuhi ketentuan Undang-undang
ini.
Pasal 39
Jika kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak dipenuhi oleh suatu
badan usaha di bidang pembangunan perumahan dan permukiman, maka izin
usaha badan tersebut dicabut.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 40
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan pelaksanaan
di bidang perumahan dan permukiman yang telah ada tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-undang ini atau belum diganti atau diubah
berdasarkan Undang-undang ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang nomor 1
Tahun 1964 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang nomor 6
tahun 1962 tentang Pokok-pokok perumahan (Lembaran Negara Tahun 1962
Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2476) menjadi Undang-undang
(Lembaran Negara Tahun 1964 nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2611) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 42
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan penerapannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak
Undang-undang ini diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 10 Maret t992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
S O E H A R T O
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 Maret 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
MOERDIONO
Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 23
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Hukum
dan Perundang-undangan
ttd.
Bambang Kesowo, S.H., LL.M.

Undang-Undang No.26 tahun 2007 tentang panataan ruang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 26 TAHUN 2007
TENTANG
PENATAAN RUANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang merupakan negara kepulauan berciri
Nusantara, baik sebagai kesatuan wadah yang
meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi, maupun sebagai
sumber daya, perlu ditingkatkan upaya
pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna, dan
berhasil guna dengan berpedoman pada kaidah
penataan ruang sehingga kualitas ruang wilayah
nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi
terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial
sesuai dengan landasan konstitusional Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. bahwa perkembangan situasi dan kondisi nasional
dan internasional menuntut penegakan prinsip
keterpaduan, keberlanjutan, demokrasi, kepastian
hukum, dan keadilan dalam rangka penyelenggaraan
penataan ruang yang baik sesuai dengan landasan
idiil Pancasila;
c. bahwa untuk memperkukuh Ketahanan Nasional
berdasarkan Wawasan Nusantara dan sejalan dengan
kebijakan otonomi daerah yang memberikan
kewenangan semakin besar kepada pemerintah
daerah dalam penyelenggaraan penataan ruang, maka
kewenangan tersebut perlu diatur demi menjaga
keserasian dan keterpaduan antardaerah dan antara
pusat dan daerah agar tidak menimbulkan
kesenjangan antardaerah;
d. bahwa . . .
- 2 -
d. bahwa keberadaan ruang yang terbatas dan
pemahaman masyarakat yang berkembang terhadap
pentingnya penataan ruang sehingga diperlukan
penyelenggaraan penataan ruang yang transparan,
efektif, dan partisipatif agar terwujud ruang yang
aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan;
e. bahwa secara geografis Negara Kesatuan Republik
Indonesia berada pada kawasan rawan bencana
sehingga diperlukan penataan ruang yang berbasis
mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan
keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan
penghidupan;
f. bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang sudah tidak sesuai dengan
kebutuhan pengaturan penataan ruang sehingga
perlu diganti dengan undang-undang penataan ruang
yang baru;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf e, dan huruf f, perlu membentuk Undang-
Undang tentang Penataan Ruang;
Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 25A, dan Pasal 33 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENATAAN RUANG.
BAB I . . .
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat,
ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di
dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan
kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
2. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola
ruang.
3. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat
permukiman dan sistem jaringan prasarana dan
sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan
sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis
memiliki hubungan fungsional.
4. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang
dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan
ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang
untuk fungsi budi daya.
5. Penataan ruang adalah suatu sistem proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang.
6. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan
yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan,
dan pengawasan penataan ruang.
7. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
8. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau
Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
9. Pengaturan penataan ruang adalah upaya
pembentukan landasan hukum bagi Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat dalam
penataan ruang.
10. Pembinaan . . .
- 4 -
10. Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk
meningkatkan kinerja penataan ruang yang
diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat.
11. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya
pencapaian tujuan penataan ruang melalui
pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
12. Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar
penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
13. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk
menentukan struktur ruang dan pola ruang yang
meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata
ruang.
14. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk
mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai
dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan
pelaksanaan program beserta pembiayaannya.
15. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya
untuk mewujudkan tertib tata ruang.
16. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata
ruang.
17. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan
geografis beserta segenap unsur terkait yang batas
dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan/atau aspek fungsional.
18. Sistem wilayah adalah struktur ruang dan pola
ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada
tingkat wilayah.
19. Sistem internal perkotaan adalah struktur ruang
dan pola ruang yang mempunyai jangkauan
pelayanan pada tingkat internal perkotaan.
20. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi
utama lindung atau budi daya.
21. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan
dengan fungsi utama melindungi kelestarian
lingkungan hidup yang mencakup sumber daya
alam . . .
- 5 -
alam dan sumber daya buatan.
22. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan
dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas
dasar kondisi dan potensi sumber daya alam,
sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
23. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang
mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk
pengelolaan sumber daya alam dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan
sosial, dan kegiatan ekonomi.
24. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri
atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah
perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan
pengelolaan sumber daya alam tertentu yang
ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan
hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan
sistem agrobisnis.
25. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang
mempunyai kegiatan utama bukan pertanian
dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi.
26. Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan
yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang
berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan
kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling
memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan
dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang
terintegrasi dengan jumlah penduduk secara
keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu
juta) jiwa.
27. Kawasan megapolitan adalah kawasan yang
terbentuk dari 2 (dua) atau lebih kawasan
metropolitan yang memiliki hubungan fungsional
dan membentuk sebuah sistem.
28. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang
penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting secara
nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan
dan . . .
- 6 -
dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya,
dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah
ditetapkan sebagai warisan dunia.
29. Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang
penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup
provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya,
dan/atau lingkungan.
30. Kawasan strategis kabupaten/kota adalah wilayah
yang penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup
kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya,
dan/atau lingkungan.
31. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur
dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih
bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik
yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja
ditanam.
32. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang
dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
33. Orang adalah orang perseorangan dan/atau
korporasi.
34. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan dalam bidang penataan
ruang.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia,
penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas:
a. keterpaduan;
b. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan;
c. keberlanjutan;
d. keberdayagunaan dan keberhasilgunaan;
e. keterbukaan . . .
- 7 -
e. keterbukaan;
f. kebersamaan dan kemitraan;
g. pelindungan kepentingan umum;
h. kepastian hukum dan keadilan; dan
i. akuntabilitas.
Pasal 3
Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk
mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam
dan lingkungan buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber
daya alam dan sumber daya buatan dengan
memperhatikan sumber daya manusia; dan
c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan
pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan
akibat pemanfaatan ruang.
BAB III
KLASIFIKASI PENATAAN RUANG
Pasal 4
Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem,
fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan
kawasan, dan nilai strategis kawasan.
Pasal 5
(1) Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri atas
sistem wilayah dan sistem internal perkotaan.
(2) Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan
terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi
daya.
(3) Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif
terdiri atas penataan ruang wilayah nasional,
penataan . . .
- 8 -
penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan
ruang wilayah kabupaten/kota.
(4) Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan
terdiri atas penataan ruang kawasan perkotaan dan
penataan ruang kawasan perdesaan.
(5) Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan
terdiri atas penataan ruang kawasan strategis
nasional, penataan ruang kawasan strategis
provinsi, dan penataan ruang kawasan strategis
kabupaten/kota.
Pasal 6
(1) Penataan ruang diselenggarakan dengan
memperhatikan:
a. kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang rentan terhadap bencana;
b. potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan sumber daya buatan; kondisi
ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum,
pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta
ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu
kesatuan; dan
c. geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi.
(2) Penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang
wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah
kabupaten/kota dilakukan secara berjenjang dan
komplementer.
(3) Penataan ruang wilayah nasional meliputi ruang
wilayah yurisdiksi dan wilayah kedaulatan nasional
yang mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu
kesatuan.
(4) Penataan ruang wilayah provinsi dan
kabupaten/kota meliputi ruang darat, ruang laut,
dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(5) Ruang . . .
- 9 -
(5) Ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur
dengan undang-undang tersendiri.
BAB IV
TUGAS DAN WEWENANG
Bagian Kesatu
Tugas
Pasal 7
(1) Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), negara memberikan kewenangan
penyelenggaraan penataan ruang kepada
Pemerintah dan pemerintah daerah.
(3) Penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tetap
menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Wewenang Pemerintah
Pasal 8
(1) Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan
penataan ruang meliputi:
a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan
terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, serta
terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan
strategis nasional, provinsi, dan kabupaten/kota;
b. pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional;
c. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis
nasional; dan
d. kerja sama penataan ruang antarnegara dan
pemfasilitasan . . .
- 10 -
pemfasilitasan kerja sama penataan ruang
antarprovinsi.
(2) Wewenang Pemerintah dalam pelaksanaan penataan
ruang nasional meliputi:
a. perencanaan tata ruang wilayah nasional;
b. pemanfaatan ruang wilayah nasional; dan
c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
nasional.
(3) Wewenang Pemerintah dalam pelaksanaan penataan
ruang kawasan strategis nasional meliputi:
a. penetapan kawasan strategis nasional;
b. perencanaan tata ruang kawasan strategis
nasional;
c. pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional;
dan
d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan
strategis nasional.
(4) Pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan
huruf d dapat dilaksanakan pemerintah daerah
melalui dekonsentrasi dan/atau tugas pembantuan.
(5) Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang,
Pemerintah berwenang menyusun dan menetapkan
pedoman bidang penataan ruang.
(6) Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4),
dan ayat (5), Pemerintah:
a. menyebarluaskan informasi yang berkaitan
dengan:
1) rencana umum dan rencana rinci tata ruang
dalam rangka pelaksanaan penataan ruang
wilayah nasional;
2) arahan peraturan zonasi untuk sistem
nasional yang disusun dalam rangka
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
nasional; dan
3) pedoman . . .
- 11 -
3) pedoman bidang penataan ruang;
b. menetapkan standar pelayanan minimal bidang
penataan ruang.
Pasal 9
(1) Penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan oleh
seorang Menteri.
(2) Tugas dan tanggung jawab Menteri dalam
penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan
penataan ruang;
b. pelaksanaan penataan ruang nasional; dan
c. koordinasi penyelenggaraan penataan ruang
lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku
kepentingan.
Bagian Ketiga
Wewenang Pemerintah Daerah Provinsi
Pasal 10
(1) Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam
penyelenggaraan penataan ruang meliputi:
a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan
terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah
provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap
pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis
provinsi dan kabupaten/kota;
b. pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi;
c. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis
provinsi; dan
d. kerja sama penataan ruang antarprovinsi dan
pemfasilitasan kerja sama penataan ruang
antarkabupaten/kota.
(2) Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam
pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi: . . .
- 12 -
meliputi:
a. perencanaan tata ruang wilayah provinsi;
b. pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan
c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
provinsi.
(3) Dalam penataan ruang kawasan strategis provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
pemerintah daerah provinsi melaksanakan:
a. penetapan kawasan strategis provinsi;
b. perencanaan tata ruang kawasan strategis
provinsi;
c. pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi;
dan
d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan
strategis provinsi.
(4) Pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan
huruf d dapat dilaksanakan pemerintah daerah
kabupaten/kota melalui tugas pembantuan.
(5) Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang
wilayah provinsi, pemerintah daerah provinsi dapat
menyusun petunjuk pelaksanaan bidang penataan
ruang pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
(6) Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4),
dan ayat (5), pemerintah daerah provinsi:
a. menyebarluaskan informasi yang berkaitan
dengan:
1) rencana umum dan rencana rinci tata ruang
dalam rangka pelaksanaan penataan ruang
wilayah provinsi;
2) arahan peraturan zonasi untuk sistem
provinsi yang disusun dalam rangka
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
provinsi; dan
3) petunjuk . . .
- 13 -
3) petunjuk pelaksanaan bidang penataan
ruang;
b. melaksanakan standar pelayanan minimal
bidang penataan ruang.
(7) Dalam hal pemerintah daerah provinsi tidak dapat
memenuhi standar pelayanan minimal bidang
penataan ruang, Pemerintah mengambil langkah
penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Keempat
Wewenang Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 11
(1) Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota
dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi:
a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan
terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah
kabupaten/kota dan kawasan strategis
kabupaten/kota;
b. pelaksanaan penataan ruang wilayah
kabupaten/kota;
c. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis
kabupaten/kota; dan
d. kerja sama penataan ruang antarkabupaten/
kota.
(2) Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota
dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b meliputi:
a. perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/
kota;
b. pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota; dan
c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
kabupaten/kota.
(3) Dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan
strategis kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c, pemerintah daerah
kabupaten/kota melaksanakan:
a. penetapan . . .
- 14 -
a. penetapan kawasan strategis kabupaten/kota;
b. perencanaan tata ruang kawasan strategis
kabupaten/kota;
c. pemanfaatan ruang kawasan strategis
kabupaten/kota; dan
d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan
strategis kabupaten/kota.
(4) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pemerintah
daerah kabupaten/kota mengacu pada pedoman
bidang penataan ruang dan petunjuk
pelaksanaannya.
(5) Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4), pemerintah daerah kabupaten/kota:
a. menyebarluaskan informasi yang berkaitan
dengan rencana umum dan rencana rinci tata
ruang dalam rangka pelaksanaan penataan
ruang wilayah kabupaten/kota; dan
b. melaksanakan standar pelayanan minimal
bidang penataan ruang.
(6) Dalam hal pemerintah daerah kabupaten/kota tidak
dapat memenuhi standar pelayanan minimal bidang
penataan ruang, pemerintah daerah provinsi dapat
mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB V
PENGATURAN DAN PEMBINAAN PENATAAN RUANG
Pasal 12
Pengaturan penataan ruang dilakukan melalui
penetapan ketentuan peraturan perundang-undangan
bidang penataan ruang termasuk pedoman bidang
penataan ruang.
Pasal 13
(1) Pemerintah melakukan pembinaan penataan ruang
kepada . . .
- 15 -
kepada pemerintah daerah provinsi, pemerintah
daerah kabupaten/kota, dan masyarakat.
(2) Pembinaan penataan ruang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. koordinasi penyelenggaraan penataan ruang;
b. sosialisasi peraturan perundang-undangan dan
sosialisasi pedoman bidang penataan ruang;
c. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi
pelaksanaan penataan ruang;
d. pendidikan dan pelatihan;
e. penelitian dan pengembangan;
f. pengembangan sistem informasi dan komunikasi
penataan ruang;
g. penyebarluasan informasi penataan ruang
kepada masyarakat; dan
h. pengembangan kesadaran dan tanggung jawab
masyarakat.
(3) Pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah
kabupaten/kota menyelenggarakan pembinaan
penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) menurut kewenangannya masing-masing.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB VI
PELAKSANAAN PENATAAN RUANG
Bagian Kesatu
Perencanaan Tata Ruang
Paragraf 1
Umum
Pasal 14
(1) Perencanaan tata ruang dilakukan untuk
menghasilkan:
a. rencana . . .
- 16 -
a. rencana umum tata ruang; dan
b. rencana rinci tata ruang.
(2) Rencana umum tata ruang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a secara berhierarki terdiri atas:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b. rencana tata ruang wilayah provinsi; dan
c. rencana tata ruang wilayah kabupaten dan
rencana tata ruang wilayah kota.
(3) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. rencana tata ruang pulau/kepulauan dan
rencana tata ruang kawasan strategis nasional;
b. rencana tata ruang kawasan strategis provinsi;
dan
c. rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan
rencana tata ruang kawasan strategis
kabupaten/kota.
(4) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b disusun sebagai perangkat
operasional rencana umum tata ruang.
(5) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf a dan huruf b disusun apabila:
a. rencana umum tata ruang belum dapat dijadikan
dasar dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang
dan pengendalian pemanfaatan ruang; dan/atau
b. rencana umum tata ruang mencakup wilayah
perencanaan yang luas dan skala peta dalam
rencana umum tata ruang tersebut memerlukan
perincian sebelum dioperasionalkan.
(6) Rencana detail tata ruang sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf c dijadikan dasar bagi
penyusunan peraturan zonasi.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat ketelitian
peta rencana tata ruang diatur dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 15 . . .
- 17 -
Pasal 15
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, rencana tata
ruang wilayah provinsi, dan rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota mencakup ruang darat, ruang laut, dan
ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi.
Pasal 16
(1) Rencana tata ruang dapat ditinjau kembali.
(2) Peninjauan kembali rencana tata ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
menghasilkan rekomendasi berupa:
a. rencana tata ruang yang ada dapat tetap berlaku
sesuai dengan masa berlakunya; atau
b. rencana tata ruang yang ada perlu direvisi.
(3) Apabila peninjauan kembali rencana tata ruang
menghasilkan rekomendasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b, revisi rencana tata ruang
dilaksanakan dengan tetap menghormati hak yang
dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata
cara peninjauan kembali rencana tata ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 17
(1) Muatan rencana tata ruang mencakup rencana
struktur ruang dan rencana pola ruang.
(2) Rencana struktur ruang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi rencana sistem pusat
permukiman dan rencana sistem jaringan
prasarana.
(3) Rencana pola ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi peruntukan kawasan lindung dan
kawasan budi daya.
(4) Peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi
daya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi
peruntukan . . .
- 18 -
peruntukan ruang untuk kegiatan pelestarian
lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan,
dan keamanan.
(5) Dalam rangka pelestarian lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), dalam rencana tata ruang
wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30
(tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai.
(6) Penyusunan rencana tata ruang harus
memperhatikan keterkaitan antarwilayah,
antarfungsi kawasan, dan antarkegiatan kawasan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyusunan rencana tata ruang yang berkaitan
dengan fungsi pertahanan dan keamanan sebagai
subsistem rencana tata ruang wilayah diatur dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 18
(1) Penetapan rancangan peraturan daerah provinsi
tentang rencana tata ruang wilayah provinsi dan
rencana rinci tata ruang terlebih dahulu harus
mendapat persetujuan substansi dari Menteri.
(2) Penetapan rancangan peraturan daerah
kabupaten/kota tentang rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota dan rencana rinci tata ruang
terlebih dahulu harus mendapat persetujuan
substansi dari Menteri setelah mendapatkan
rekomendasi Gubernur.
(3) Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata
cara penyusunan rencana tata ruang wilayah
provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
penyusunan rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan peraturan Menteri.
Paragraf 2
Perencanaan Tata Ruang Wilayah Nasional
Pasal 19
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
harus . . .
- 19 -
harus memperhatikan:
a. Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
b. perkembangan permasalahan regional dan global,
serta hasil pengkajian implikasi penataan ruang
nasional;
c. upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan
serta stabilitas ekonomi;
d. keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan
pembangunan daerah;
e. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
f. rencana pembangunan jangka panjang nasional;
g. rencana tata ruang kawasan strategis nasional; dan
h. rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata
ruang wilayah kabupaten/kota.
Pasal 20
(1) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memuat:
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang
wilayah nasional;
b. rencana struktur ruang wilayah nasional yang
meliputi sistem perkotaan nasional yang terkait
dengan kawasan perdesaan dalam wilayah
pelayanannya dan sistem jaringan prasarana
utama;
c. rencana pola ruang wilayah nasional yang
meliputi kawasan lindung nasional dan kawasan
budi daya yang memiliki nilai strategis nasional;
d. penetapan kawasan strategis nasional;
e. arahan pemanfaatan ruang yang berisi indikasi
program utama jangka menengah lima tahunan;
dan
f. arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
nasional yang berisi indikasi arahan peraturan
zonasi sistem nasional, arahan perizinan, arahan
insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
(2) Rencana . . .
- 20 -
(2) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi
pedoman untuk:
a. penyusunan rencana pembangunan jangka
panjang nasional;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka
menengah nasional;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang di wilayah nasional;
d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan
keseimbangan perkembangan antarwilayah
provinsi, serta keserasian antarsektor;
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk
investasi;
f. penataan ruang kawasan strategis nasional; dan
g. penataan ruang wilayah provinsi dan
kabupaten/kota.
(3) Jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional adalah 20 (dua puluh) tahun.
(4) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditinjau kembali 1 (satu) kali
dalam 5 (lima) tahun.
(5) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang
berkaitan dengan bencana alam skala besar yang
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan
dan/atau perubahan batas teritorial negara yang
ditetapkan dengan Undang-Undang, Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional ditinjau kembali lebih dari
1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(6) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional diatur
dengan peraturan pemerintah.
Pasal 21
(1) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (3) huruf a diatur dengan
peraturan presiden.
(2) Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata
cara penyusunan rencana rinci tata ruang
sebagaimana . . .
- 21 -
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan Menteri.
Paragraf 3
Perencanaan Tata Ruang Wilayah Provinsi
Pasal 22
(1) Penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi
mengacu pada:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b. pedoman bidang penataan ruang; dan
c. rencana pembangunan jangka panjang daerah.
(2) Penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi
harus memperhatikan:
a. perkembangan permasalahan nasional dan hasil
pengkajian implikasi penataan ruang provinsi;
b. upaya pemerataan pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi provinsi;
c. keselarasan aspirasi pembangunan provinsi dan
pembangunan kabupaten/kota;
d. daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup;
e. rencana pembangunan jangka panjang daerah;
f. rencana tata ruang wilayah provinsi yang
berbatasan;
g. rencana tata ruang kawasan strategis provinsi;
dan
h. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
Pasal 23
(1) Rencana tata ruang wilayah provinsi memuat:
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang
wilayah provinsi;
b. rencana struktur ruang wilayah provinsi yang
meliputi . . .
- 22 -
meliputi sistem perkotaan dalam wilayahnya
yang berkaitan dengan kawasan perdesaan
dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan
prasarana wilayah provinsi;
c. rencana pola ruang wilayah provinsi yang
meliputi kawasan lindung dan kawasan budi
daya yang memiliki nilai strategis provinsi;
d. penetapan kawasan strategis provinsi;
e. arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang
berisi indikasi program utama jangka menengah
lima tahunan; dan
f. arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
provinsi yang berisi indikasi arahan peraturan
zonasi sistem provinsi, arahan perizinan, arahan
insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
(2) Rencana tata ruang wilayah provinsi menjadi
pedoman untuk:
a. penyusunan rencana pembangunan jangka
panjang daerah;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka
menengah daerah;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang dalam wilayah provinsi;
d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan
keseimbangan perkembangan antarwilayah
kabupaten/kota, serta keserasian antarsektor;
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk
investasi;
f. penataan ruang kawasan strategis provinsi; dan
g. penataan ruang wilayah kabupaten/kota.
(3) Jangka waktu rencana tata ruang wilayah provinsi
adalah 20 (dua puluh) tahun.
(4) Rencana tata ruang wilayah provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditinjau kembali 1 (satu) kali
dalam 5 (lima) tahun.
(5) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang
berkaitan dengan bencana alam skala besar yang
ditetapkan . . .
- 23 -
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan
dan/atau perubahan batas teritorial negara
dan/atau wilayah provinsi yang ditetapkan dengan
Undang-Undang, rencana tata ruang wilayah
provinsi ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali
dalam 5 (lima) tahun.
(6) Rencana tata ruang wilayah provinsi ditetapkan
dengan peraturan daerah provinsi.
Pasal 24
(1) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (3) huruf b ditetapkan dengan
peraturan daerah provinsi.
(2) Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata
cara penyusunan rencana rinci tata ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan Menteri.
Paragraf 4
Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Pasal 25
(1) Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten
mengacu pada:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan
rencana tata ruang wilayah provinsi;
b. pedoman dan petunjuk pelaksanaan bidang
penataan ruang; dan
c. rencana pembangunan jangka panjang daerah.
(2) Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten
harus memperhatikan:
a. perkembangan permasalahan provinsi dan hasil
pengkajian implikasi penataan ruang kabupaten;
b. upaya pemerataan pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi kabupaten;
c. keselarasan aspirasi pembangunan kabupaten;
d. daya . . .
- 24 -
d. daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup;
e. rencana pembangunan jangka panjang daerah;
f. rencana tata ruang wilayah kabupaten yang
berbatasan; dan
g. rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten.
Pasal 26
(1) Rencana tata ruang wilayah kabupaten memuat:
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang
wilayah kabupaten;
b. rencana struktur ruang wilayah kabupaten yang
meliputi sistem perkotaan di wilayahnya yang
terkait dengan kawasan perdesaan dan sistem
jaringan prasarana wilayah kabupaten;
c. rencana pola ruang wilayah kabupaten yang
meliputi kawasan lindung kabupaten dan
kawasan budi daya kabupaten;
d. penetapan kawasan strategis kabupaten;
e. arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten
yang berisi indikasi program utama jangka
menengah lima tahunan; dan
f. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang
wilayah kabupaten yang berisi ketentuan umum
peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan
insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
(2) Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi
pedoman untuk:
a. penyusunan rencana pembangunan jangka
panjang daerah;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka
menengah daerah;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten;
d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan
keseimbangan antarsektor;
e. penetapan . . .
- 25 -
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk
investasi; dan
f. penataan ruang kawasan strategis kabupaten.
(3) Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi
dasar untuk penerbitan perizinan lokasi
pembangunan dan administrasi pertanahan.
(4) Jangka waktu rencana tata ruang wilayah
kabupaten adalah 20 (dua puluh) tahun.
(5) Rencana tata ruang wilayah kabupaten
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau
kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(6) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang
berkaitan dengan bencana alam skala besar yang
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan
dan/atau perubahan batas teritorial negara, wilayah
provinsi, dan/atau wilayah kabupaten yang
ditetapkan dengan Undang-Undang, rencana tata
ruang wilayah kabupaten ditinjau kembali lebih dari
1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(7) Rencana tata ruang wilayah kabupaten ditetapkan
dengan peraturan daerah kabupaten.
Pasal 27
(1) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (3) huruf c ditetapkan dengan
peraturan daerah kabupaten.
(2) Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata
cara penyusunan rencana rinci tata ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan Menteri.
Paragraf 5
Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kota
Pasal 28
Ketentuan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan
Pasal 27 berlaku mutatis mutandis untuk perencanaan
tata . . .
- 26 -
tata ruang wilayah kota, dengan ketentuan selain rincian
dalam Pasal 26 ayat (1) ditambahkan:
a. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka
hijau;
b. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka
nonhijau; dan
c. rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan
sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum,
kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi
bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi
wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi
dan pusat pertumbuhan wilayah.
Pasal 29
(1) Ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 huruf a terdiri dari ruang terbuka hijau
publik dan ruang terbuka hijau privat.
(2) Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota
paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas
wilayah kota.
(3) Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah
kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas
wilayah kota.
Pasal 30
Distribusi ruang terbuka hijau publik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (3)
disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hierarki
pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan
pola ruang.
Pasal 31
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan
pemanfaatan ruang terbuka hijau dan ruang terbuka
nonhijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a
dan huruf b diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Kedua . . .
- 27 -
Bagian Kedua
Pemanfaatan Ruang
Paragraf 1
Umum
Pasal 32
(1) Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan
program pemanfaatan ruang beserta
pembiayaannya.
(2) Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilaksanakan dengan pemanfaatan
ruang, baik pemanfaatan ruang secara vertikal
maupun pemanfaatan ruang di dalam bumi.
(3) Program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk
jabaran dari indikasi program utama yang termuat
di dalam rencana tata ruang wilayah.
(4) Pemanfaatan ruang diselenggarakan secara
bertahap sesuai dengan jangka waktu indikasi
program utama pemanfaatan ruang yang ditetapkan
dalam rencana tata ruang.
(5) Pelaksanaan pemanfaatan ruang di wilayah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disinkronisasikan dengan pelaksanaan pemanfaatan
ruang wilayah administratif sekitarnya.
(6) Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan
standar pelayanan minimal dalam penyediaan
sarana dan prasarana.
Pasal 33
(1) Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang
yang ditetapkan dalam rencana tata ruang
dilaksanakan dengan mengembangkan
penatagunaan tanah, penatagunaan air,
penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber
daya alam lain.
(2) Dalam . . .
- 28 -
(2) Dalam rangka pengembangan penatagunaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan kegiatan penyusunan dan
penetapan neraca penatagunaan tanah, neraca
penatagunaan sumber daya air, neraca
penatagunaan udara, dan neraca penatagunaan
sumber daya alam lain.
(3) Penatagunaan tanah pada ruang yang direncanakan
untuk pembangunan prasarana dan sarana bagi
kepentingan umum memberikan hak prioritas
pertama bagi Pemerintah dan pemerintah daerah
untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari
pemegang hak atas tanah.
(4) Dalam pemanfaatan ruang pada ruang yang
berfungsi lindung, diberikan prioritas pertama bagi
Pemerintah dan pemerintah daerah untuk menerima
pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak atas
tanah jika yang bersangkutan akan melepaskan
haknya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penatagunaan
tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan
penatagunaan sumber daya alam lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan peraturan pemerintah.
Paragraf 2
Pemanfaatan Ruang Wilayah
Pasal 34
(1) Dalam pemanfaatan ruang wilayah nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota dilakukan:
a. perumusan kebijakan strategis operasionalisasi
rencana tata ruang wilayah dan rencana tata
ruang kawasan strategis;
b. perumusan program sektoral dalam rangka
perwujudan struktur ruang dan pola ruang
wilayah dan kawasan strategis; dan
c. pelaksanaan pembangunan sesuai dengan
program pemanfaatan ruang wilayah dan
kawasan strategis.
(2) Dalam . . .
- 29 -
(2) Dalam rangka pelaksanaan kebijakan strategis
operasionalisasi rencana tata ruang wilayah dan
rencana tata ruang kawasan strategis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan kawasan
budi daya yang dikendalikan dan kawasan budi
daya yang didorong pengembangannya.
(3) Pelaksanaan pembangunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c dilaksanakan melalui
pengembangan kawasan secara terpadu.
(4) Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan:
a. standar pelayanan minimal bidang penataan
ruang;
b. standar kualitas lingkungan; dan
c. daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup.
Bagian Ketiga
Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Pasal 35
Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui
penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian
insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi.
Pasal 36
(1) Peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 disusun sebagai pedoman pengendalian
pemanfaatan ruang.
(2) Peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci
tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang.
(3) Peraturan zonasi ditetapkan dengan:
a. peraturan pemerintah untuk arahan peraturan
zonasi sistem nasional;
b. peraturan daerah provinsi untuk arahan
peraturan zonasi sistem provinsi; dan
c. peraturan . . .
- 30 -
c. peraturan daerah kabupaten/kota untuk
peraturan zonasi.
Pasal 37
(1) Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 diatur oleh Pemerintah dan pemerintah
daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang wilayah dibatalkan oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah menurut
kewenangan masing-masing sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau
diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar,
batal demi hukum.
(4) Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui
prosedur yang benar tetapi kemudian terbukti tidak
sesuai dengan rencana tata ruang wilayah,
dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah
sesuai dengan kewenangannya.
(5) Terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat
pembatalan izin sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), dapat dimintakan penggantian yang layak
kepada instansi pemberi izin.
(6) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi
akibat adanya perubahan rencana tata ruang
wilayah dapat dibatalkan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah dengan memberikan ganti
kerugian yang layak.
(7) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang
menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang
menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana
tata ruang.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan
izin dan tata cara penggantian yang layak
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)
diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 38 . . .
- 31 -
Pasal 38
(1) Dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang agar
pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata
ruang wilayah dapat diberikan insentif dan/atau
disinsentif oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.
(2) Insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35,
yang merupakan perangkat atau upaya untuk
memberikan imbalan terhadap pelaksanaan
kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang,
berupa:
a. keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi
silang, imbalan, sewa ruang, dan urun saham;
b. pembangunan serta pengadaan infrastruktur;
c. kemudahan prosedur perizinan; dan/atau
d. pemberian penghargaan kepada masyarakat,
swasta dan/atau pemerintah daerah.
(3) Disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35,
yang merupakan perangkat untuk mencegah,
membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan
yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang,
berupa:
a. pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan
dengan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk
mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat
pemanfaatan ruang; dan/atau
b. pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan
kompensasi, dan penalti.
(4) Insentif dan disinsentif diberikan dengan tetap
menghormati hak masyarakat.
(5) Insentif dan disinsentif dapat diberikan oleh:
a. Pemerintah kepada pemerintah daerah;
b. pemerintah daerah kepada pemerintah daerah
lainnya; dan
c. pemerintah kepada masyarakat.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata
cara pemberian insentif dan disinsentif diatur
dengan peraturan pemerintah.
Pasal 39 . . .
- 32 -
Pasal 39
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 merupakan tindakan penertiban yang dilakukan
terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang dan peraturan zonasi.
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian
pemanfaatan ruang diatur dengan peraturan
pemerintah.
Bagian Keempat
Penataan Ruang Kawasan Perkotaan
Paragraf 1
Umum
Pasal 41
(1) Penataan ruang kawasan perkotaan diselenggarakan
pada:
a. kawasan perkotaan yang merupakan bagian
wilayah kabupaten; atau
b. kawasan yang secara fungsional berciri
perkotaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih
wilayah kabupaten/kota pada satu atau lebih
wilayah provinsi.
(2) Kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dan huruf b menurut besarannya
dapat berbentuk kawasan perkotaan kecil, kawasan
perkotaan sedang, kawasan perkotaan besar,
kawasan metropolitan, atau kawasan megapolitan.
(3) Kriteria mengenai kawasan perkotaan menurut
besarannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan peraturan pemerintah.
Paragraf 2 . . .
- 33 -
Paragraf 2
Perencanaan Tata Ruang Kawasan Perkotaan
Pasal 42
(1) Rencana tata ruang kawasan perkotaan yang
merupakan bagian wilayah kabupaten adalah
rencana rinci tata ruang wilayah kabupaten.
(2) Dalam perencanaan tata ruang kawasan perkotaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
ketentuan Pasal 29, dan Pasal 30.
Pasal 43
(1) Rencana tata ruang kawasan perkotaan yang
mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah
kabupaten/kota pada satu atau lebih wilayah
provinsi merupakan alat koordinasi dalam
pelaksanaan pembangunan yang bersifat lintas
wilayah.
(2) Rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berisi arahan struktur ruang dan pola ruang
yang bersifat lintas wilayah administratif.
Pasal 44
(1) Rencana tata ruang kawasan metropolitan
merupakan alat koordinasi pelaksanaan
pembangunan lintas wilayah.
(2) Rencana tata ruang kawasan metropolitan dan/atau
kawasan megapolitan berisi:
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang
kawasan metropolitan dan/atau megapolitan;
b. rencana struktur ruang kawasan metropolitan
yang meliputi sistem pusat kegiatan dan sistem
jaringan prasarana kawasan metropolitan
dan/atau megapolitan;
c. rencana pola ruang kawasan metropolitan
dan/atau megapolitan yang meliputi kawasan
lindung dan kawasan budi daya;
d. arahan . . .
- 34 -
d. arahan pemanfaatan ruang kawasan
metropolitan dan/atau megapolitan yang berisi
indikasi program utama yang bersifat
interdependen antarwilayah administratif; dan
e. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang
kawasan metropolitan dan/atau megapolitan
yang berisi arahan peraturan zonasi kawasan
metropolitan dan/atau megapolitan, arahan
ketentuan perizinan, arahan ketentuan insentif
dan disinsentif, serta arahan sanksi.
Paragraf 3
Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan
Pasal 45
(1) Pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang
merupakan bagian wilayah kabupaten merupakan
bagian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten.
(2) Pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang
merupakan bagian dari 2 (dua) atau lebih wilayah
kabupaten/kota pada satu atau lebih wilayah
provinsi dilaksanakan melalui penyusunan program
pembangunan beserta pembiayaannya secara
terkoordinasi antarwilayah kabupaten/kota terkait.
Paragraf 4
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan
Pasal 46
(1) Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan
perkotaan yang merupakan bagian wilayah
kabupaten merupakan bagian pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah kabupaten.
(2) Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan
perkotaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih
wilayah kabupaten/kota pada satu atau lebih
wilayah provinsi dilaksanakan oleh setiap
kabupaten/kota.
(3) Untuk kawasan perkotaan yang mencakup 2 (dua)
atau . . .
- 35 -
atau lebih wilayah kabupaten/kota yang mempunyai
lembaga pengelolaan tersendiri, pengendaliannya
dapat dilaksanakan oleh lembaga dimaksud.
Paragraf 5
Kerja Sama Penataan Ruang Kawasan Perkotaan
Pasal 47
(1) Penataan ruang kawasan perkotaan yang mencakup
2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota
dilaksanakan melalui kerja sama antardaerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang
kawasan perkotaan diatur dengan peraturan
pemerintah.
Bagian Kelima
Penataan Ruang Kawasan Perdesaan
Paragraf 1
Umum
Pasal 48
(1) Penataan ruang kawasan perdesaan diarahkan
untuk:
a. pemberdayaan masyarakat perdesaan;
b. pertahanan kualitas lingkungan setempat dan
wilayah yang didukungnya;
c. konservasi sumber daya alam;
d. pelestarian warisan budaya lokal;
e. pertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan
untuk ketahanan pangan; dan
f. penjagaan keseimbangan pembangunan
perdesaan-perkotaan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan
terhadap kawasan lahan abadi pertanian pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diatur
dengan Undang-Undang.
(3) Penataan . . .
- 36 -
(3) Penataan ruang kawasan perdesaan
diselenggarakan pada:
a. kawasan perdesaan yang merupakan bagian
wilayah kabupaten; atau
b. kawasan yang secara fungsional berciri perdesaan
yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah
kabupaten pada satu atau lebih wilayah provinsi.
(4) Kawasan perdesaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berbentuk kawasan agropolitan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang
kawasan agropolitan diatur dengan peraturan
pemerintah.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang
kawasan perdesaan diatur dengan peraturan
pemerintah.
Paragraf`2
Perencanaan Tata Ruang Kawasan Perdesaan
Pasal 49
Rencana tata ruang kawasan perdesaan yang
merupakan bagian wilayah kabupaten adalah bagian
rencana tata ruang wilayah kabupaten.
Pasal 50
(1) Penataan ruang kawasan perdesaan dalam 1 (satu)
wilayah kabupaten dapat dilakukan pada tingkat
wilayah kecamatan atau beberapa wilayah desa atau
nama lain yang disamakan dengan desa yang
merupakan bentuk detail dari penataan ruang
wilayah kabupaten.
(2) Rencana tata ruang kawasan perdesaan yang
mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten
merupakan alat koordinasi dalam pelaksanaan
pembangunan yang bersifat lintas wilayah.
(3) Rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) berisi struktur ruang dan pola ruang yang
bersifat lintas wilayah administratif.
Pasal 51 . . .
- 37 -
Pasal 51
(1) Rencana tata ruang kawasan agropolitan
merupakan rencana rinci tata ruang 1 (satu) atau
beberapa wilayah kabupaten.
(2) Rencana tata ruang kawasan agropolitan memuat:
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang
kawasan agropolitan;
b. rencana struktur ruang kawasan agropolitan
yang meliputi sistem pusat kegiatan dan sistem
jaringan prasarana kawasan agropolitan;
c. rencana pola ruang kawasan agropolitan yang
meliputi kawasan lindung dan kawasan budi
daya;
d. arahan pemanfaatan ruang kawasan agropolitan
yang berisi indikasi program utama yang bersifat
interdependen antardesa; dan
e. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang
kawasan agropolitan yang berisi arahan
peraturan zonasi kawasan agropolitan, arahan
ketentuan perizinan, arahan ketentuan insentif
dan disinsentif, serta arahan sanksi.
Paragraf 3
Pemanfaatan Ruang Kawasan Perdesaan
Pasal 52
(1) Pemanfaatan ruang kawasan perdesaan yang
merupakan bagian wilayah kabupaten merupakan
bagian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten.
(2) Pemanfaatan ruang kawasan perdesaan yang
merupakan bagian dari 2 (dua) atau lebih wilayah
kabupaten dilaksanakan melalui penyusunan
program pembangunan beserta pembiayaannya
secara terkoordinasi antarwilayah kabupaten
terkait.
Paragraf 4 . . .
- 38 -
Paragraf 4
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perdesaan
Pasal 53
(1) Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan
perdesaan yang merupakan bagian wilayah
kabupaten merupakan bagian pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah kabupaten.
(2) Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan
perdesaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih
wilayah kabupaten dilaksanakan oleh setiap
kabupaten.
(3) Untuk kawasan perdesaan yang mencakup 2 (dua)
atau lebih wilayah kabupaten yang mempunyai
lembaga kerja sama antarwilayah kabupaten,
pengendaliannya dapat dilaksanakan oleh lembaga
dimaksud.
Paragraf 5
Kerja Sama Penataan Ruang Kawasan Perdesaan
Pasal 54
(1) Penataan ruang kawasan perdesaan yang
mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten
dilaksanakan melalui kerja sama antardaerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang
kawasan perdesaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk kawasan agropolitan yang berada
dalam 1 (satu) kabupaten diatur dengan peraturan
daerah kabupaten, untuk kawasan agropolitan yang
berada pada 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten
diatur dengan peraturan daerah provinsi, dan untuk
kawasan agropolitan yang berada pada 2 (dua) atau
lebih wilayah provinsi diatur dengan peraturan
pemerintah.
(3) Penataan ruang kawasan perdesaan
diselenggarakan secara terintegrasi dengan kawasan
perkotaan sebagai satu kesatuan pemanfaatan
ruang wilayah kabupaten/kota.
(4) Penataan . . .
- 39 -
(4) Penataan ruang kawasan agropolitan
diselenggarakan dalam keterpaduan sistem
perkotaan wilayah dan nasional.
(5) Keterpaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
mencakup keterpaduan sistem permukiman,
prasarana, sistem ruang terbuka, baik ruang
terbuka hijau maupun ruang terbuka nonhijau.
BAB VII
PENGAWASAN PENATAAN RUANG
Pasal 55
(1) Untuk menjamin tercapainya tujuan
penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, dilakukan pengawasan
terhadap kinerja pengaturan, pembinaan, dan
pelaksanaan penataan ruang.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas tindakan pemantauan, evaluasi, dan
pelaporan.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah
daerah sesuai dengan kewenangannya.
(4) Pengawasan Pemerintah dan pemerintah daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
dengan melibatkan peran masyarakat.
(5) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dapat dilakukan dengan menyampaikan laporan
dan/atau pengaduan kepada Pemerintah dan
pemerintah daerah.
Pasal 56
(1) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (2) dilakukan dengan
mengamati dan memeriksa kesesuaian antara
penyelenggaraan penataan ruang dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Apabila . . .
- 40 -
(2) Apabila hasil pemantauan dan evaluasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbukti terjadi
penyimpangan administratif dalam penyelenggaraan
penataan ruang, Menteri, Gubernur, dan
Bupati/Walikota mengambil langkah penyelesaian
sesuai dengan kewenangannya.
(3) Dalam hal Bupati/Walikota tidak melaksanakan
langkah penyelesaian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Gubernur mengambil langkah penyelesaian
yang tidak dilaksanakan Bupati/Walikota.
(4) Dalam hal Gubernur tidak melaksanakan langkah
penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3), Menteri mengambil langkah
penyelesaian yang tidak dilaksanakan Gubernur.
Pasal 57
Dalam hal penyimpangan dalam penyelenggaraan
penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56
ayat (2), pihak yang melakukan penyimpangan dapat
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 58
(1) Untuk menjamin tercapainya tujuan
penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, dilakukan pula
pengawasan terhadap kinerja fungsi dan manfaat
penyelenggaraan penataan ruang dan kinerja
pemenuhan standar pelayanan minimal bidang
penataan ruang.
(2) Dalam rangka peningkatan kinerja fungsi dan
manfaat penyelenggaraan penataan ruang wilayah
nasional disusun standar pelayanan
penyelenggaraan penataan ruang untuk tingkat
nasional.
(3) Standar pelayanan minimal bidang penataan ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek
pelayanan dalam perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang.
(4) Standar . . .
- 41 -
(4) Standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mencakup standar pelayanan minimal
bidang penataan ruang provinsi dan standar
pelayanan minimal bidang penataan ruang
kabupaten/kota.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan
minimal bidang penataan ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan
peraturan Menteri.
Pasal 59
(1) Pengawasan terhadap penataan ruang pada setiap
tingkat wilayah dilakukan dengan menggunakan
pedoman bidang penataan ruang.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditujukan pada pengaturan, pembinaan, dan
pelaksanaan penataan ruang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengawasan terhadap pengaturan, pembinaan, dan
pelaksanaan penataan ruang diatur dengan
peraturan Menteri.
BAB VIII
HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT
Pasal 60
Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk:
a. mengetahui rencana tata ruang;
b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat
penataan ruang;
c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian
yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan
pembangunan yang sesuai dengan rencana tata
ruang;
d. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang
terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang di wilayahnya;
e. mengajukan . . .
- 42 -
e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan
penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan
f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada
pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan
pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang menimbulkan kerugian.
Pasal 61
Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:
a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan
ruang dari pejabat yang berwenang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam
persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai milik umum.
Pasal 62
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61, dikenai sanksi administratif.
Pasal 63
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62 dapat berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian sementara pelayanan umum;
d. penutupan lokasi;
e. pencabutan izin;
f. pembatalan izin;
g. pembongkaran bangunan;
h. pemulihan . . .
- 43 -
h. pemulihan fungsi ruang; dan/atau
i. denda administratif.
Pasal 64
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 63 diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 65
(1) Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh
pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat.
(2) Peran masyarakat dalam penataan ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan,
antara lain, melalui:
a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata
ruang;
b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan
c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan
ruang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan
bentuk peran masyarakat dalam penataan ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 66
(1) Masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan
penataan ruang dapat mengajukan gugatan melalui
pengadilan.
(2) Dalam hal masyarakat mengajukan gugatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tergugat
dapat membuktikan bahwa tidak terjadi
penyimpangan dalam penyelenggaraan penataan
ruang.
BAB IX . . .
- 44 -
BAB IX
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 67
(1) Penyelesaian sengketa penataan ruang pada tahap
pertama diupayakan berdasarkan prinsip
musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak diperoleh kesepakatan,
para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian
sengketa melalui pengadilan atau di luar pengadilan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
BAB X
PENYIDIKAN
Pasal 68
(1) Selain pejabat penyidik kepolisian negara Republik
Indonesia, pegawai negeri sipil tertentu di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang penataan ruang
diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk
membantu pejabat penyidik kepolisian negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan
atau keterangan yang berkenaan dengan tindak
pidana dalam bidang penataan ruang;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang
diduga melakukan tindak pidana dalam bidang
penataan ruang;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang
sehubungan dengan peristiwa tindak pidana
dalam bidang penataan ruang;
d. melakukan . . .
- 45 -
d. melakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen
yang berkenaan dengan tindak pidana dalam
bidang penataan ruang;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang
diduga terdapat bahan bukti dan dokumen lain
serta melakukan penyitaan dan penyegelan
terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran
yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak
pidana dalam bidang penataan ruang; dan
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka
pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana
dalam bidang penataan ruang.
(3) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan kepada pejabat penyidik kepolisian
negara Republik Indonesia.
(4) Apabila pelaksanaan kewenangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) memerlukan tindakan
penangkapan dan penahanan, penyidik pegawai
negeri sipil melakukan koordinasi dengan pejabat
penyidik kepolisian negara Republik Indonesia
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(5) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan
kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik
kepolisian negara Republik Indonesia.
(6) Pengangkatan pejabat penyidik pegawai negeri sipil
dan tata cara serta proses penyidikan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 69
(1) Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang
yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 huruf a yang mengakibatkan perubahan
fungsi . . .
- 46 -
fungsi ruang, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta
benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan)
tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah).
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 70
(1) Setiap orang yang memanfaatkan ruang tidak sesuai
dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang
berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61
huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan perubahan fungsi ruang,
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta
benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu
miliar lima ratus juta rupiah).
(4) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 71 . . .
- 47 -
Pasal 71
Setiap orang yang tidak mematuhi ketentuan yang
ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf c, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Pasal 72
Setiap orang yang tidak memberikan akses terhadap
kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai milik umum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 61 huruf d, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 73
(1) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang
menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata
ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat
(7), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) pelaku dapat dikenai pidana tambahan
berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat
dari jabatannya.
Pasal 74
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72
dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana
penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana
yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa
pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari
pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal
69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan
berupa:
a. pencabutan . . .
- 48 -
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
Pasal 75
(1) Setiap orang yang menderita kerugian akibat tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69,
Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72, dapat menuntut
ganti kerugian secara perdata kepada pelaku tindak
pidana.
(2) Tuntutan ganti kerugian secara perdata
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan hukum acara pidana.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 76
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua
peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan penataan
ruang yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-
Undang ini.
Pasal 77
(1) Pada saat rencana tata ruang ditetapkan, semua
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang harus disesuaikan dengan
rencana tata ruang melalui kegiatan penyesuaian
pemanfaatan ruang.
(2) Pemanfataan ruang yang sah menurut rencana tata
ruang sebelumnya diberi masa transisi selama 3
(tiga) tahun untuk penyesuaian.
(3) Untuk pemanfaatan ruang yang izinnya diterbitkan
sebelum penetapan rencana tata ruang dan dapat
dibuktikan bahwa izin tersebut diperoleh sesuai
dengan prosedur yang benar, kepada pemegang izin
diberikan penggantian yang layak.
BAB XIII . . .
- 49 -
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 78
(1) Peraturan pemerintah yang diamanatkan Undang-
Undang ini diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.
(2) Peraturan presiden yang diamanatkan Undang-
Undang ini diselesaikan paling lambat 5 (lima)
tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diberlakukan.
(3) Peraturan Menteri yang diamanatkan Undang-
Undang ini diselesaikan paling lambat 3 (tiga) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.
(4) Dengan berlakunya Undang-Undang ini:
a. Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional disesuaikan paling
lambat dalam waktu 1 (satu) tahun 6 (enam)
bulan terhitung sejak Undang-Undang ini
diberlakukan;
b. semua peraturan daerah provinsi tentang
rencana tata ruang wilayah provinsi disusun
atau disesuaikan paling lambat dalam waktu 2
(dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diberlakukan; dan
c. semua peraturan daerah kabupaten/kota tentang
rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota
disusun atau disesuaikan paling lambat 3 (tiga)
tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diberlakukan.
Pasal 79
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501)
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 80
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .
- 50 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 26 April 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 April 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 68
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
ttd.
Wisnu Setiawan
- 51 -
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 26 TAHUN 2007
TENTANG
PENATAAN RUANG
I. UMUM
1. Ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik
sebagai kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang
laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi,
maupun sebagai sumber daya, merupakan karunia Tuhan
Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia yang perlu
disyukuri, dilindungi, dan dikelola secara berkelanjutan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat
yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta makna
yang terkandung dalam falsafah dan dasar negara Pancasila.
Untuk mewujudkan amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut,
Undang-Undang tentang Penataan Ruang ini menyatakan
bahwa negara menyelenggarakan penataan ruang, yang
pelaksanaan wewenangnya dilakukan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah dengan tetap menghormati hak yang
dimiliki oleh setiap orang.
2. Secara geografis, letak Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berada di antara dua benua dan dua samudera sangat
strategis, baik bagi kepentingan nasional maupun
internasional. Secara ekosistem, kondisi alamiah Indonesia
sangat khas karena posisinya yang berada di dekat
khatulistiwa dengan cuaca, musim, dan iklim tropis, yang
merupakan aset atau sumber daya yang sangat besar bagi
bangsa Indonesia. Di samping keberadaan yang bernilai
sangat strategis tersebut, Indonesia berada pula pada kawasan
rawan bencana, yang secara alamiah dapat mengancam
keselamatan bangsa. Dengan keberadaan tersebut,
penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional harus
dilakukan secara komprehensif, holistik, terkoordinasi,
terpadu . . .
- 2 -
terpadu, efektif, dan efisien dengan memperhatikan faktor
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan
kelestarian lingkungan hidup.
3. Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi, sebagai tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan
memelihara kelangsungan hidupnya, pada dasarnya
ketersediaannya tidak tak terbatas. Berkaitan dengan hal
tersebut, dan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang
aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, Undang-
Undang ini mengamanatkan perlunya dilakukan penataan
ruang yang dapat mengharmoniskan lingkungan alam dan
lingkungan buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan
penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan,
serta yang dapat memberikan pelindungan terhadap fungsi
ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan
hidup akibat pemanfaatan ruang. Kaidah penataan ruang ini
harus dapat diterapkan dan diwujudkan dalam setiap proses
perencanaan tata ruang wilayah.
4. Ruang sebagai sumber daya pada dasarnya tidak mengenal
batas wilayah. Namun, untuk mewujudkan ruang wilayah
nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan
berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional,
serta sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang nyata,
luas, dan bertanggung jawab, penataan ruang menuntut
kejelasan pendekatan dalam proses perencanaannya demi
menjaga keselarasan, keserasian, keseimbangan, dan
keterpaduan antardaerah, antara pusat dan daerah,
antarsektor, dan antarpemangku kepentingan. Dalam Undang-
Undang ini, penataan ruang didasarkan pada pendekatan
sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan
kawasan, dan nilai strategis kawasan.
Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah tersebut,
wewenang penyelenggaraan penataan ruang oleh Pemerintah
dan pemerintah daerah, yang mencakup kegiatan pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang,
didasarkan pada pendekatan wilayah dengan batasan wilayah
administratif. Dengan pendekatan wilayah administratif
tersebut, penataan ruang seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia terdiri atas wilayah nasional, wilayah
provinsi . . .
- 3 -
provinsi, wilayah kabupaten, dan wilayah kota, yang setiap
wilayah tersebut merupakan subsistem ruang menurut
batasan administratif. Di dalam subsistem tersebut terdapat
sumber daya manusia dengan berbagai macam kegiatan
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan, dan
dengan tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda, yang
apabila tidak ditata dengan baik dapat mendorong ke arah
adanya ketidakseimbangan pembangunan antarwilayah serta
ketidaksinambungan pemanfaatan ruang. Berkaitan dengan
penataan ruang wilayah kota, Undang-Undang ini secara
khusus mengamanatkan perlunya penyediaan dan
pemanfaatan ruang terbuka hijau, yang proporsi luasannya
ditetapkan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas
wilayah kota, yang diisi oleh tanaman, baik yang tumbuh
secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
Penataan ruang dengan pendekatan kegiatan utama kawasan
terdiri atas penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan
ruang kawasan perdesaan. Kawasan perkotaan, menurut
besarannya, dapat berbentuk kawasan perkotaan kecil,
kawasan perkotaan sedang, kawasan perkotaan besar,
kawasan metropolitan, dan kawasan megapolitan. Penataan
ruang kawasan metropolitan dan kawasan megapolitan,
khususnya kawasan metropolitan yang berupa kawasan
perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang
saling memiliki keterkaitan fungsional dan dihubungkan
dengan jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi,
merupakan pedoman untuk keterpaduan perencanaan tata
ruang wilayah administrasi di dalam kawasan, dan
merupakan alat untuk mengoordinasikan pelaksanaan
pembangunan lintas wilayah administratif yang bersangkutan.
Penataan ruang kawasan perdesaan diselenggarakan pada
kawasan perdesaan yang merupakan bagian wilayah
kabupaten atau pada kawasan yang secara fungsional berciri
perdesaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah
kabupaten pada 1 (satu) atau lebih wilayah provinsi. Kawasan
perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten dapat
berupa kawasan agropolitan.
Penataan ruang dengan pendekatan nilai strategis kawasan
dimaksudkan untuk mengembangkan, melestarikan,
melindungi dan/atau mengoordinasikan keterpaduan
pembangunan nilai strategis kawasan yang bersangkutan
demi terwujudnya pemanfaatan yang berhasil guna, berdaya
guna, dan berkelanjutan. Penetapan kawasan strategis pada
setiap . . .
- 4 -
setiap jenjang wilayah administratif didasarkan pada pengaruh
yang sangat penting terhadap kedaulatan negara, pertahanan,
keamanan, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan,
termasuk kawasan yang ditetapkan sebagai warisan dunia.
Pengaruh aspek kedaulatan negara, pertahanan, dan
keamanan lebih ditujukan bagi penetapan kawasan strategis
nasional, sedangkan yang berkaitan dengan aspek ekonomi,
sosial, budaya, dan lingkungan, yang dapat berlaku untuk
penetapan kawasan strategis nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota, diukur berdasarkan pendekatan ekternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi penanganan kawasan yang
bersangkutan.
5. Penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara yang
satu dan yang lain dan harus dilakukan sesuai dengan kaidah
penataan ruang sehingga diharapkan (i) dapat mewujudkan
pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna
serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang
berkelanjutan; (ii) tidak terjadi pemborosan pemanfaatan
ruang; dan (iii) tidak menyebabkan terjadinya penurunan
kualitas ruang.
Penataan ruang yang didasarkan pada karakteristik, daya
dukung dan daya tampung lingkungan, serta didukung oleh
teknologi yang sesuai akan meningkatkan keserasian,
keselarasan, dan keseimbangan subsistem. Hal itu berarti
akan dapat meningkatkan kualitas ruang yang ada. Karena
pengelolaan subsistem yang satu berpengaruh pada subsistem
yang lain dan pada akhirnya dapat mempengaruhi sistem
wilayah ruang nasional secara keseluruhan, pengaturan
penataan ruang menuntut dikembangkannya suatu sistem
keterpaduan sebagai ciri utama. Hal itu berarti perlu adanya
suatu kebijakan nasional tentang penataan ruang yang dapat
memadukan berbagai kebijakan pemanfaatan ruang. Seiring
dengan maksud tersebut, pelaksanaan pembangunan yang
dilaksanakan, baik oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
maupun masyarakat, baik pada tingkat pusat maupun pada
tingkat daerah, harus dilakukan sesuai dengan rencana tata
ruang yang telah ditetapkan. Dengan demikian, pemanfaatan
ruang oleh siapa pun tidak boleh bertentangan dengan
rencana tata ruang.
6. Perencanaan . . .
- 5 -
6. Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan
rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang.
Rencana umum tata ruang disusun berdasarkan pendekatan
wilayah administratif dengan muatan substansi mencakup
rencana struktur ruang dan rencana pola ruang. Rencana
rinci tata ruang disusun berdasarkan pendekatan nilai
strategis kawasan dan/atau kegiatan kawasan dengan muatan
substansi yang dapat mencakup hingga penetapan blok dan
subblok peruntukan. Penyusunan rencana rinci tersebut
dimaksudkan sebagai operasionalisasi rencana umum tata
ruang dan sebagai dasar penetapan peraturan zonasi.
Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur
tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan
pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona
peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata
ruang. Rencana rinci tata ruang wilayah kabupaten/kota dan
peraturan zonasi yang melengkapi rencana rinci tersebut
menjadi salah satu dasar dalam pengendalian pemanfaatan
ruang sehingga pemanfaatan ruang dapat dilakukan sesuai
dengan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata
ruang.
7. Pengendalian pemanfaatan ruang tersebut dilakukan pula
melalui perizinan pemanfaatan ruang, pemberian insentif dan
disinsentif, serta pengenaan sanksi. Perizinan pemanfaatan
ruang dimaksudkan sebagai upaya penertiban pemanfaatan
ruang sehingga setiap pemanfaatan ruang harus dilakukan
sesuai dengan rencana tata ruang. Izin pemanfaatan ruang
diatur dan diterbitkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah
sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Pemanfaatan
ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang
dilengkapi dengan izin maupun yang tidak memiliki izin,
dikenai sanksi adminstratif, sanksi pidana penjara, dan/atau
sanksi pidana denda.
Pemberian insentif dimaksudkan sebagai upaya untuk
memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang
sejalan dengan rencana tata ruang, baik yang dilakukan oleh
masyarakat maupun oleh pemerintah daerah. Bentuk insentif
tersebut, antara lain, dapat berupa keringanan pajak,
pembangunan prasarana dan sarana (infrastruktur),
pemberian kompensasi, kemudahan prosedur perizinan, dan
pemberian penghargaan.
Disinsentif . . .
- 6 -
Disinsentif dimaksudkan sebagai perangkat untuk mencegah,
membatasi pertumbuhan, dan/atau mengurangi kegiatan
yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang, yang antara
lain dapat berupa pengenaan pajak yang tinggi, pembatasan
penyediaan prasarana dan sarana, serta pengenaan
kompensasi dan penalti.
Pengenaan sanksi, yang merupakan salah satu upaya
pengendalian pemanfaatan ruang, dimaksudkan sebagai
perangkat tindakan penertiban atas pemanfaatan ruang yang
tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi.
Dalam Undang-Undang ini pengenaan sanksi tidak hanya
diberikan kepada pemanfaat ruang yang tidak sesuai dengan
ketentuan perizinan pemanfaatan ruang, tetapi dikenakan
pula kepada pejabat pemerintah yang berwenang yang
menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang.
8. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang, sebagai dasar pengaturan penataan ruang selama ini,
pada dasarnya telah memberikan andil yang cukup besar
dalam mewujudkan tertib tata ruang sehingga hampir semua
pemerintah daerah telah memiliki rencana tata ruang wilayah.
Sejalan dengan perkembangan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, beberapa pertimbangan yang telah diuraikan
sebelumnya, dan dirasakan adanya penurunan kualitas ruang
pada sebagian besar wilayah menuntut perubahan pengaturan
dalam Undang-Undang tersebut.
Beberapa perkembangan tersebut antara lain (i) situasi
nasional dan internasional yang menuntut penegakan prinsip
keterpaduan, keberlanjutan, demokrasi, dan keadilan dalam
rangka penyelenggaraan penataan ruang yang baik; (ii)
pelaksanaan kebijakan otonomi daerah yang memberikan
wewenang yang semakin besar kepada pemerintah daerah
dalam penyelenggaraan penataan ruang sehingga pelaksanaan
kewenangan tersebut perlu diatur demi menjaga keserasian
dan keterpaduan antardaerah, serta tidak menimbulkan
kesenjangan antardaerah; dan (iii) kesadaran dan pemahaman
masyarakat yang semakin tinggi terhadap penataan ruang
yang memerlukan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan
pengawasan penataan ruang agar sesuai dengan
perkembangan yang terjadi di masyarakat.
Untuk . . .
- 7 -
Untuk menyesuaikan perkembangan tersebut dan untuk
mengantisipasi kompleksitas perkembangan permasalahan
dalam penataan ruang, perlu dibentuk Undang-Undang
tentang Penataan Ruang yang baru sebagai pengganti Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
9. Dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan penataan
ruang tersebut, Undang-Undang ini, antara lain, memuat
ketentuan pokok sebagai berikut:
a. pembagian wewenang antara Pemerintah, pemerintah
daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota
dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk
memberikan kejelasan tugas dan tanggung jawab masingmasing
tingkat pemerintahan dalam mewujudkan ruang
wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan;
b. pengaturan penataan ruang yang dilakukan melalui
penetapan peraturan perundang-undangan termasuk
pedoman bidang penataan ruang sebagai acuan
penyelenggaraan penataan ruang;
c. pembinaan penataan ruang melalui berbagai kegiatan
untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan penataan
ruang;
d. pelaksanaan penataan ruang yang mencakup perencanaan
tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang pada semua tingkat pemerintahan;
e. pengawasan penataan ruang yang mencakup pengawasan
terhadap kinerja pengaturan, pembinaan, dan
pelaksanaan penataan ruang, termasuk pengawasan
terhadap kinerja pemenuhan standar pelayanan minimal
bidang penataan ruang melalui kegiatan pemantauan,
evaluasi, dan pelaporan;
f. hak, kewajiban, dan peran masyarakat dalam
penyelenggaraan penataan ruang untuk menjamin
keterlibatan masyarakat, termasuk masyarakat adat
dalam setiap proses penyelenggaraan penataan ruang;
g. penyelesaian sengketa, baik sengketa antardaerah
maupun antarpemangku kepentingan lain secara
bermartabat;
h. penyidikan . . .
- 8 -
h. penyidikan, yang mengatur tentang penyidik pegawai
negeri sipil beserta wewenang dan mekanisme tindakan
yang dilakukan;
i. ketentuan sanksi administratif dan sanksi pidana sebagai
dasar untuk penegakan hukum dalam penyelenggaraan
penataan ruang; dan
j. ketentuan peralihan yang mengatur keharusan
penyesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata
ruang yang baru, dengan masa transisi selama 3 (tiga)
tahun untuk penyesuaian.