UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 26 TAHUN 2007
TENTANG
PENATAAN RUANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang merupakan negara kepulauan berciri
Nusantara, baik sebagai kesatuan wadah yang
meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi, maupun sebagai
sumber daya, perlu ditingkatkan upaya
pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna, dan
berhasil guna dengan berpedoman pada kaidah
penataan ruang sehingga kualitas ruang wilayah
nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi
terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial
sesuai dengan landasan konstitusional Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. bahwa perkembangan situasi dan kondisi nasional
dan internasional menuntut penegakan prinsip
keterpaduan, keberlanjutan, demokrasi, kepastian
hukum, dan keadilan dalam rangka penyelenggaraan
penataan ruang yang baik sesuai dengan landasan
idiil Pancasila;
c. bahwa untuk memperkukuh Ketahanan Nasional
berdasarkan Wawasan Nusantara dan sejalan dengan
kebijakan otonomi daerah yang memberikan
kewenangan semakin besar kepada pemerintah
daerah dalam penyelenggaraan penataan ruang, maka
kewenangan tersebut perlu diatur demi menjaga
keserasian dan keterpaduan antardaerah dan antara
pusat dan daerah agar tidak menimbulkan
kesenjangan antardaerah;
d. bahwa . . .
- 2 -
d. bahwa keberadaan ruang yang terbatas dan
pemahaman masyarakat yang berkembang terhadap
pentingnya penataan ruang sehingga diperlukan
penyelenggaraan penataan ruang yang transparan,
efektif, dan partisipatif agar terwujud ruang yang
aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan;
e. bahwa secara geografis Negara Kesatuan Republik
Indonesia berada pada kawasan rawan bencana
sehingga diperlukan penataan ruang yang berbasis
mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan
keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan
penghidupan;
f. bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang sudah tidak sesuai dengan
kebutuhan pengaturan penataan ruang sehingga
perlu diganti dengan undang-undang penataan ruang
yang baru;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf e, dan huruf f, perlu membentuk Undang-
Undang tentang Penataan Ruang;
Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 25A, dan Pasal 33 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENATAAN RUANG.
BAB I . . .
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat,
ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di
dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan
kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
2. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola
ruang.
3. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat
permukiman dan sistem jaringan prasarana dan
sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan
sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis
memiliki hubungan fungsional.
4. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang
dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan
ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang
untuk fungsi budi daya.
5. Penataan ruang adalah suatu sistem proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang.
6. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan
yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan,
dan pengawasan penataan ruang.
7. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
8. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau
Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
9. Pengaturan penataan ruang adalah upaya
pembentukan landasan hukum bagi Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat dalam
penataan ruang.
10. Pembinaan . . .
- 4 -
10. Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk
meningkatkan kinerja penataan ruang yang
diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat.
11. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya
pencapaian tujuan penataan ruang melalui
pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
12. Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar
penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
13. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk
menentukan struktur ruang dan pola ruang yang
meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata
ruang.
14. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk
mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai
dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan
pelaksanaan program beserta pembiayaannya.
15. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya
untuk mewujudkan tertib tata ruang.
16. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata
ruang.
17. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan
geografis beserta segenap unsur terkait yang batas
dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan/atau aspek fungsional.
18. Sistem wilayah adalah struktur ruang dan pola
ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada
tingkat wilayah.
19. Sistem internal perkotaan adalah struktur ruang
dan pola ruang yang mempunyai jangkauan
pelayanan pada tingkat internal perkotaan.
20. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi
utama lindung atau budi daya.
21. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan
dengan fungsi utama melindungi kelestarian
lingkungan hidup yang mencakup sumber daya
alam . . .
- 5 -
alam dan sumber daya buatan.
22. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan
dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas
dasar kondisi dan potensi sumber daya alam,
sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
23. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang
mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk
pengelolaan sumber daya alam dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan
sosial, dan kegiatan ekonomi.
24. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri
atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah
perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan
pengelolaan sumber daya alam tertentu yang
ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan
hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan
sistem agrobisnis.
25. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang
mempunyai kegiatan utama bukan pertanian
dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi.
26. Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan
yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang
berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan
kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling
memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan
dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang
terintegrasi dengan jumlah penduduk secara
keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu
juta) jiwa.
27. Kawasan megapolitan adalah kawasan yang
terbentuk dari 2 (dua) atau lebih kawasan
metropolitan yang memiliki hubungan fungsional
dan membentuk sebuah sistem.
28. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang
penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting secara
nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan
dan . . .
- 6 -
dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya,
dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah
ditetapkan sebagai warisan dunia.
29. Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang
penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup
provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya,
dan/atau lingkungan.
30. Kawasan strategis kabupaten/kota adalah wilayah
yang penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup
kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya,
dan/atau lingkungan.
31. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur
dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih
bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik
yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja
ditanam.
32. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang
dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
33. Orang adalah orang perseorangan dan/atau
korporasi.
34. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan dalam bidang penataan
ruang.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia,
penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas:
a. keterpaduan;
b. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan;
c. keberlanjutan;
d. keberdayagunaan dan keberhasilgunaan;
e. keterbukaan . . .
- 7 -
e. keterbukaan;
f. kebersamaan dan kemitraan;
g. pelindungan kepentingan umum;
h. kepastian hukum dan keadilan; dan
i. akuntabilitas.
Pasal 3
Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk
mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam
dan lingkungan buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber
daya alam dan sumber daya buatan dengan
memperhatikan sumber daya manusia; dan
c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan
pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan
akibat pemanfaatan ruang.
BAB III
KLASIFIKASI PENATAAN RUANG
Pasal 4
Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem,
fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan
kawasan, dan nilai strategis kawasan.
Pasal 5
(1) Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri atas
sistem wilayah dan sistem internal perkotaan.
(2) Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan
terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi
daya.
(3) Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif
terdiri atas penataan ruang wilayah nasional,
penataan . . .
- 8 -
penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan
ruang wilayah kabupaten/kota.
(4) Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan
terdiri atas penataan ruang kawasan perkotaan dan
penataan ruang kawasan perdesaan.
(5) Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan
terdiri atas penataan ruang kawasan strategis
nasional, penataan ruang kawasan strategis
provinsi, dan penataan ruang kawasan strategis
kabupaten/kota.
Pasal 6
(1) Penataan ruang diselenggarakan dengan
memperhatikan:
a. kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang rentan terhadap bencana;
b. potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan sumber daya buatan; kondisi
ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum,
pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta
ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu
kesatuan; dan
c. geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi.
(2) Penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang
wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah
kabupaten/kota dilakukan secara berjenjang dan
komplementer.
(3) Penataan ruang wilayah nasional meliputi ruang
wilayah yurisdiksi dan wilayah kedaulatan nasional
yang mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu
kesatuan.
(4) Penataan ruang wilayah provinsi dan
kabupaten/kota meliputi ruang darat, ruang laut,
dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(5) Ruang . . .
- 9 -
(5) Ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur
dengan undang-undang tersendiri.
BAB IV
TUGAS DAN WEWENANG
Bagian Kesatu
Tugas
Pasal 7
(1) Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), negara memberikan kewenangan
penyelenggaraan penataan ruang kepada
Pemerintah dan pemerintah daerah.
(3) Penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tetap
menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Wewenang Pemerintah
Pasal 8
(1) Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan
penataan ruang meliputi:
a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan
terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, serta
terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan
strategis nasional, provinsi, dan kabupaten/kota;
b. pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional;
c. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis
nasional; dan
d. kerja sama penataan ruang antarnegara dan
pemfasilitasan . . .
- 10 -
pemfasilitasan kerja sama penataan ruang
antarprovinsi.
(2) Wewenang Pemerintah dalam pelaksanaan penataan
ruang nasional meliputi:
a. perencanaan tata ruang wilayah nasional;
b. pemanfaatan ruang wilayah nasional; dan
c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
nasional.
(3) Wewenang Pemerintah dalam pelaksanaan penataan
ruang kawasan strategis nasional meliputi:
a. penetapan kawasan strategis nasional;
b. perencanaan tata ruang kawasan strategis
nasional;
c. pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional;
dan
d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan
strategis nasional.
(4) Pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan
huruf d dapat dilaksanakan pemerintah daerah
melalui dekonsentrasi dan/atau tugas pembantuan.
(5) Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang,
Pemerintah berwenang menyusun dan menetapkan
pedoman bidang penataan ruang.
(6) Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4),
dan ayat (5), Pemerintah:
a. menyebarluaskan informasi yang berkaitan
dengan:
1) rencana umum dan rencana rinci tata ruang
dalam rangka pelaksanaan penataan ruang
wilayah nasional;
2) arahan peraturan zonasi untuk sistem
nasional yang disusun dalam rangka
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
nasional; dan
3) pedoman . . .
- 11 -
3) pedoman bidang penataan ruang;
b. menetapkan standar pelayanan minimal bidang
penataan ruang.
Pasal 9
(1) Penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan oleh
seorang Menteri.
(2) Tugas dan tanggung jawab Menteri dalam
penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan
penataan ruang;
b. pelaksanaan penataan ruang nasional; dan
c. koordinasi penyelenggaraan penataan ruang
lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku
kepentingan.
Bagian Ketiga
Wewenang Pemerintah Daerah Provinsi
Pasal 10
(1) Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam
penyelenggaraan penataan ruang meliputi:
a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan
terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah
provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap
pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis
provinsi dan kabupaten/kota;
b. pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi;
c. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis
provinsi; dan
d. kerja sama penataan ruang antarprovinsi dan
pemfasilitasan kerja sama penataan ruang
antarkabupaten/kota.
(2) Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam
pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi: . . .
- 12 -
meliputi:
a. perencanaan tata ruang wilayah provinsi;
b. pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan
c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
provinsi.
(3) Dalam penataan ruang kawasan strategis provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
pemerintah daerah provinsi melaksanakan:
a. penetapan kawasan strategis provinsi;
b. perencanaan tata ruang kawasan strategis
provinsi;
c. pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi;
dan
d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan
strategis provinsi.
(4) Pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan
huruf d dapat dilaksanakan pemerintah daerah
kabupaten/kota melalui tugas pembantuan.
(5) Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang
wilayah provinsi, pemerintah daerah provinsi dapat
menyusun petunjuk pelaksanaan bidang penataan
ruang pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
(6) Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4),
dan ayat (5), pemerintah daerah provinsi:
a. menyebarluaskan informasi yang berkaitan
dengan:
1) rencana umum dan rencana rinci tata ruang
dalam rangka pelaksanaan penataan ruang
wilayah provinsi;
2) arahan peraturan zonasi untuk sistem
provinsi yang disusun dalam rangka
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
provinsi; dan
3) petunjuk . . .
- 13 -
3) petunjuk pelaksanaan bidang penataan
ruang;
b. melaksanakan standar pelayanan minimal
bidang penataan ruang.
(7) Dalam hal pemerintah daerah provinsi tidak dapat
memenuhi standar pelayanan minimal bidang
penataan ruang, Pemerintah mengambil langkah
penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Keempat
Wewenang Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 11
(1) Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota
dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi:
a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan
terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah
kabupaten/kota dan kawasan strategis
kabupaten/kota;
b. pelaksanaan penataan ruang wilayah
kabupaten/kota;
c. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis
kabupaten/kota; dan
d. kerja sama penataan ruang antarkabupaten/
kota.
(2) Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota
dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b meliputi:
a. perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/
kota;
b. pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota; dan
c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
kabupaten/kota.
(3) Dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan
strategis kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c, pemerintah daerah
kabupaten/kota melaksanakan:
a. penetapan . . .
- 14 -
a. penetapan kawasan strategis kabupaten/kota;
b. perencanaan tata ruang kawasan strategis
kabupaten/kota;
c. pemanfaatan ruang kawasan strategis
kabupaten/kota; dan
d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan
strategis kabupaten/kota.
(4) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pemerintah
daerah kabupaten/kota mengacu pada pedoman
bidang penataan ruang dan petunjuk
pelaksanaannya.
(5) Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4), pemerintah daerah kabupaten/kota:
a. menyebarluaskan informasi yang berkaitan
dengan rencana umum dan rencana rinci tata
ruang dalam rangka pelaksanaan penataan
ruang wilayah kabupaten/kota; dan
b. melaksanakan standar pelayanan minimal
bidang penataan ruang.
(6) Dalam hal pemerintah daerah kabupaten/kota tidak
dapat memenuhi standar pelayanan minimal bidang
penataan ruang, pemerintah daerah provinsi dapat
mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB V
PENGATURAN DAN PEMBINAAN PENATAAN RUANG
Pasal 12
Pengaturan penataan ruang dilakukan melalui
penetapan ketentuan peraturan perundang-undangan
bidang penataan ruang termasuk pedoman bidang
penataan ruang.
Pasal 13
(1) Pemerintah melakukan pembinaan penataan ruang
kepada . . .
- 15 -
kepada pemerintah daerah provinsi, pemerintah
daerah kabupaten/kota, dan masyarakat.
(2) Pembinaan penataan ruang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. koordinasi penyelenggaraan penataan ruang;
b. sosialisasi peraturan perundang-undangan dan
sosialisasi pedoman bidang penataan ruang;
c. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi
pelaksanaan penataan ruang;
d. pendidikan dan pelatihan;
e. penelitian dan pengembangan;
f. pengembangan sistem informasi dan komunikasi
penataan ruang;
g. penyebarluasan informasi penataan ruang
kepada masyarakat; dan
h. pengembangan kesadaran dan tanggung jawab
masyarakat.
(3) Pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah
kabupaten/kota menyelenggarakan pembinaan
penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) menurut kewenangannya masing-masing.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB VI
PELAKSANAAN PENATAAN RUANG
Bagian Kesatu
Perencanaan Tata Ruang
Paragraf 1
Umum
Pasal 14
(1) Perencanaan tata ruang dilakukan untuk
menghasilkan:
a. rencana . . .
- 16 -
a. rencana umum tata ruang; dan
b. rencana rinci tata ruang.
(2) Rencana umum tata ruang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a secara berhierarki terdiri atas:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b. rencana tata ruang wilayah provinsi; dan
c. rencana tata ruang wilayah kabupaten dan
rencana tata ruang wilayah kota.
(3) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. rencana tata ruang pulau/kepulauan dan
rencana tata ruang kawasan strategis nasional;
b. rencana tata ruang kawasan strategis provinsi;
dan
c. rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan
rencana tata ruang kawasan strategis
kabupaten/kota.
(4) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b disusun sebagai perangkat
operasional rencana umum tata ruang.
(5) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf a dan huruf b disusun apabila:
a. rencana umum tata ruang belum dapat dijadikan
dasar dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang
dan pengendalian pemanfaatan ruang; dan/atau
b. rencana umum tata ruang mencakup wilayah
perencanaan yang luas dan skala peta dalam
rencana umum tata ruang tersebut memerlukan
perincian sebelum dioperasionalkan.
(6) Rencana detail tata ruang sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf c dijadikan dasar bagi
penyusunan peraturan zonasi.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat ketelitian
peta rencana tata ruang diatur dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 15 . . .
- 17 -
Pasal 15
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, rencana tata
ruang wilayah provinsi, dan rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota mencakup ruang darat, ruang laut, dan
ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi.
Pasal 16
(1) Rencana tata ruang dapat ditinjau kembali.
(2) Peninjauan kembali rencana tata ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
menghasilkan rekomendasi berupa:
a. rencana tata ruang yang ada dapat tetap berlaku
sesuai dengan masa berlakunya; atau
b. rencana tata ruang yang ada perlu direvisi.
(3) Apabila peninjauan kembali rencana tata ruang
menghasilkan rekomendasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b, revisi rencana tata ruang
dilaksanakan dengan tetap menghormati hak yang
dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata
cara peninjauan kembali rencana tata ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 17
(1) Muatan rencana tata ruang mencakup rencana
struktur ruang dan rencana pola ruang.
(2) Rencana struktur ruang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi rencana sistem pusat
permukiman dan rencana sistem jaringan
prasarana.
(3) Rencana pola ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi peruntukan kawasan lindung dan
kawasan budi daya.
(4) Peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi
daya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi
peruntukan . . .
- 18 -
peruntukan ruang untuk kegiatan pelestarian
lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan,
dan keamanan.
(5) Dalam rangka pelestarian lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), dalam rencana tata ruang
wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30
(tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai.
(6) Penyusunan rencana tata ruang harus
memperhatikan keterkaitan antarwilayah,
antarfungsi kawasan, dan antarkegiatan kawasan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyusunan rencana tata ruang yang berkaitan
dengan fungsi pertahanan dan keamanan sebagai
subsistem rencana tata ruang wilayah diatur dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 18
(1) Penetapan rancangan peraturan daerah provinsi
tentang rencana tata ruang wilayah provinsi dan
rencana rinci tata ruang terlebih dahulu harus
mendapat persetujuan substansi dari Menteri.
(2) Penetapan rancangan peraturan daerah
kabupaten/kota tentang rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota dan rencana rinci tata ruang
terlebih dahulu harus mendapat persetujuan
substansi dari Menteri setelah mendapatkan
rekomendasi Gubernur.
(3) Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata
cara penyusunan rencana tata ruang wilayah
provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
penyusunan rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan peraturan Menteri.
Paragraf 2
Perencanaan Tata Ruang Wilayah Nasional
Pasal 19
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
harus . . .
- 19 -
harus memperhatikan:
a. Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
b. perkembangan permasalahan regional dan global,
serta hasil pengkajian implikasi penataan ruang
nasional;
c. upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan
serta stabilitas ekonomi;
d. keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan
pembangunan daerah;
e. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
f. rencana pembangunan jangka panjang nasional;
g. rencana tata ruang kawasan strategis nasional; dan
h. rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata
ruang wilayah kabupaten/kota.
Pasal 20
(1) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memuat:
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang
wilayah nasional;
b. rencana struktur ruang wilayah nasional yang
meliputi sistem perkotaan nasional yang terkait
dengan kawasan perdesaan dalam wilayah
pelayanannya dan sistem jaringan prasarana
utama;
c. rencana pola ruang wilayah nasional yang
meliputi kawasan lindung nasional dan kawasan
budi daya yang memiliki nilai strategis nasional;
d. penetapan kawasan strategis nasional;
e. arahan pemanfaatan ruang yang berisi indikasi
program utama jangka menengah lima tahunan;
dan
f. arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
nasional yang berisi indikasi arahan peraturan
zonasi sistem nasional, arahan perizinan, arahan
insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
(2) Rencana . . .
- 20 -
(2) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi
pedoman untuk:
a. penyusunan rencana pembangunan jangka
panjang nasional;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka
menengah nasional;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang di wilayah nasional;
d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan
keseimbangan perkembangan antarwilayah
provinsi, serta keserasian antarsektor;
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk
investasi;
f. penataan ruang kawasan strategis nasional; dan
g. penataan ruang wilayah provinsi dan
kabupaten/kota.
(3) Jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional adalah 20 (dua puluh) tahun.
(4) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditinjau kembali 1 (satu) kali
dalam 5 (lima) tahun.
(5) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang
berkaitan dengan bencana alam skala besar yang
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan
dan/atau perubahan batas teritorial negara yang
ditetapkan dengan Undang-Undang, Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional ditinjau kembali lebih dari
1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(6) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional diatur
dengan peraturan pemerintah.
Pasal 21
(1) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (3) huruf a diatur dengan
peraturan presiden.
(2) Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata
cara penyusunan rencana rinci tata ruang
sebagaimana . . .
- 21 -
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan Menteri.
Paragraf 3
Perencanaan Tata Ruang Wilayah Provinsi
Pasal 22
(1) Penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi
mengacu pada:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b. pedoman bidang penataan ruang; dan
c. rencana pembangunan jangka panjang daerah.
(2) Penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi
harus memperhatikan:
a. perkembangan permasalahan nasional dan hasil
pengkajian implikasi penataan ruang provinsi;
b. upaya pemerataan pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi provinsi;
c. keselarasan aspirasi pembangunan provinsi dan
pembangunan kabupaten/kota;
d. daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup;
e. rencana pembangunan jangka panjang daerah;
f. rencana tata ruang wilayah provinsi yang
berbatasan;
g. rencana tata ruang kawasan strategis provinsi;
dan
h. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
Pasal 23
(1) Rencana tata ruang wilayah provinsi memuat:
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang
wilayah provinsi;
b. rencana struktur ruang wilayah provinsi yang
meliputi . . .
- 22 -
meliputi sistem perkotaan dalam wilayahnya
yang berkaitan dengan kawasan perdesaan
dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan
prasarana wilayah provinsi;
c. rencana pola ruang wilayah provinsi yang
meliputi kawasan lindung dan kawasan budi
daya yang memiliki nilai strategis provinsi;
d. penetapan kawasan strategis provinsi;
e. arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang
berisi indikasi program utama jangka menengah
lima tahunan; dan
f. arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
provinsi yang berisi indikasi arahan peraturan
zonasi sistem provinsi, arahan perizinan, arahan
insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
(2) Rencana tata ruang wilayah provinsi menjadi
pedoman untuk:
a. penyusunan rencana pembangunan jangka
panjang daerah;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka
menengah daerah;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang dalam wilayah provinsi;
d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan
keseimbangan perkembangan antarwilayah
kabupaten/kota, serta keserasian antarsektor;
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk
investasi;
f. penataan ruang kawasan strategis provinsi; dan
g. penataan ruang wilayah kabupaten/kota.
(3) Jangka waktu rencana tata ruang wilayah provinsi
adalah 20 (dua puluh) tahun.
(4) Rencana tata ruang wilayah provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditinjau kembali 1 (satu) kali
dalam 5 (lima) tahun.
(5) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang
berkaitan dengan bencana alam skala besar yang
ditetapkan . . .
- 23 -
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan
dan/atau perubahan batas teritorial negara
dan/atau wilayah provinsi yang ditetapkan dengan
Undang-Undang, rencana tata ruang wilayah
provinsi ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali
dalam 5 (lima) tahun.
(6) Rencana tata ruang wilayah provinsi ditetapkan
dengan peraturan daerah provinsi.
Pasal 24
(1) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (3) huruf b ditetapkan dengan
peraturan daerah provinsi.
(2) Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata
cara penyusunan rencana rinci tata ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan Menteri.
Paragraf 4
Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Pasal 25
(1) Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten
mengacu pada:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan
rencana tata ruang wilayah provinsi;
b. pedoman dan petunjuk pelaksanaan bidang
penataan ruang; dan
c. rencana pembangunan jangka panjang daerah.
(2) Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten
harus memperhatikan:
a. perkembangan permasalahan provinsi dan hasil
pengkajian implikasi penataan ruang kabupaten;
b. upaya pemerataan pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi kabupaten;
c. keselarasan aspirasi pembangunan kabupaten;
d. daya . . .
- 24 -
d. daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup;
e. rencana pembangunan jangka panjang daerah;
f. rencana tata ruang wilayah kabupaten yang
berbatasan; dan
g. rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten.
Pasal 26
(1) Rencana tata ruang wilayah kabupaten memuat:
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang
wilayah kabupaten;
b. rencana struktur ruang wilayah kabupaten yang
meliputi sistem perkotaan di wilayahnya yang
terkait dengan kawasan perdesaan dan sistem
jaringan prasarana wilayah kabupaten;
c. rencana pola ruang wilayah kabupaten yang
meliputi kawasan lindung kabupaten dan
kawasan budi daya kabupaten;
d. penetapan kawasan strategis kabupaten;
e. arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten
yang berisi indikasi program utama jangka
menengah lima tahunan; dan
f. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang
wilayah kabupaten yang berisi ketentuan umum
peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan
insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
(2) Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi
pedoman untuk:
a. penyusunan rencana pembangunan jangka
panjang daerah;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka
menengah daerah;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten;
d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan
keseimbangan antarsektor;
e. penetapan . . .
- 25 -
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk
investasi; dan
f. penataan ruang kawasan strategis kabupaten.
(3) Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi
dasar untuk penerbitan perizinan lokasi
pembangunan dan administrasi pertanahan.
(4) Jangka waktu rencana tata ruang wilayah
kabupaten adalah 20 (dua puluh) tahun.
(5) Rencana tata ruang wilayah kabupaten
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau
kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(6) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang
berkaitan dengan bencana alam skala besar yang
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan
dan/atau perubahan batas teritorial negara, wilayah
provinsi, dan/atau wilayah kabupaten yang
ditetapkan dengan Undang-Undang, rencana tata
ruang wilayah kabupaten ditinjau kembali lebih dari
1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(7) Rencana tata ruang wilayah kabupaten ditetapkan
dengan peraturan daerah kabupaten.
Pasal 27
(1) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (3) huruf c ditetapkan dengan
peraturan daerah kabupaten.
(2) Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata
cara penyusunan rencana rinci tata ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan Menteri.
Paragraf 5
Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kota
Pasal 28
Ketentuan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan
Pasal 27 berlaku mutatis mutandis untuk perencanaan
tata . . .
- 26 -
tata ruang wilayah kota, dengan ketentuan selain rincian
dalam Pasal 26 ayat (1) ditambahkan:
a. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka
hijau;
b. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka
nonhijau; dan
c. rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan
sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum,
kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi
bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi
wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi
dan pusat pertumbuhan wilayah.
Pasal 29
(1) Ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 huruf a terdiri dari ruang terbuka hijau
publik dan ruang terbuka hijau privat.
(2) Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota
paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas
wilayah kota.
(3) Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah
kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas
wilayah kota.
Pasal 30
Distribusi ruang terbuka hijau publik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (3)
disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hierarki
pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan
pola ruang.
Pasal 31
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan
pemanfaatan ruang terbuka hijau dan ruang terbuka
nonhijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a
dan huruf b diatur dengan peraturan Menteri.
Bagian Kedua . . .
- 27 -
Bagian Kedua
Pemanfaatan Ruang
Paragraf 1
Umum
Pasal 32
(1) Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan
program pemanfaatan ruang beserta
pembiayaannya.
(2) Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilaksanakan dengan pemanfaatan
ruang, baik pemanfaatan ruang secara vertikal
maupun pemanfaatan ruang di dalam bumi.
(3) Program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk
jabaran dari indikasi program utama yang termuat
di dalam rencana tata ruang wilayah.
(4) Pemanfaatan ruang diselenggarakan secara
bertahap sesuai dengan jangka waktu indikasi
program utama pemanfaatan ruang yang ditetapkan
dalam rencana tata ruang.
(5) Pelaksanaan pemanfaatan ruang di wilayah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disinkronisasikan dengan pelaksanaan pemanfaatan
ruang wilayah administratif sekitarnya.
(6) Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan
standar pelayanan minimal dalam penyediaan
sarana dan prasarana.
Pasal 33
(1) Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang
yang ditetapkan dalam rencana tata ruang
dilaksanakan dengan mengembangkan
penatagunaan tanah, penatagunaan air,
penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber
daya alam lain.
(2) Dalam . . .
- 28 -
(2) Dalam rangka pengembangan penatagunaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan kegiatan penyusunan dan
penetapan neraca penatagunaan tanah, neraca
penatagunaan sumber daya air, neraca
penatagunaan udara, dan neraca penatagunaan
sumber daya alam lain.
(3) Penatagunaan tanah pada ruang yang direncanakan
untuk pembangunan prasarana dan sarana bagi
kepentingan umum memberikan hak prioritas
pertama bagi Pemerintah dan pemerintah daerah
untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari
pemegang hak atas tanah.
(4) Dalam pemanfaatan ruang pada ruang yang
berfungsi lindung, diberikan prioritas pertama bagi
Pemerintah dan pemerintah daerah untuk menerima
pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak atas
tanah jika yang bersangkutan akan melepaskan
haknya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penatagunaan
tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan
penatagunaan sumber daya alam lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan peraturan pemerintah.
Paragraf 2
Pemanfaatan Ruang Wilayah
Pasal 34
(1) Dalam pemanfaatan ruang wilayah nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota dilakukan:
a. perumusan kebijakan strategis operasionalisasi
rencana tata ruang wilayah dan rencana tata
ruang kawasan strategis;
b. perumusan program sektoral dalam rangka
perwujudan struktur ruang dan pola ruang
wilayah dan kawasan strategis; dan
c. pelaksanaan pembangunan sesuai dengan
program pemanfaatan ruang wilayah dan
kawasan strategis.
(2) Dalam . . .
- 29 -
(2) Dalam rangka pelaksanaan kebijakan strategis
operasionalisasi rencana tata ruang wilayah dan
rencana tata ruang kawasan strategis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan kawasan
budi daya yang dikendalikan dan kawasan budi
daya yang didorong pengembangannya.
(3) Pelaksanaan pembangunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c dilaksanakan melalui
pengembangan kawasan secara terpadu.
(4) Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan:
a. standar pelayanan minimal bidang penataan
ruang;
b. standar kualitas lingkungan; dan
c. daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup.
Bagian Ketiga
Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Pasal 35
Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui
penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian
insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi.
Pasal 36
(1) Peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 disusun sebagai pedoman pengendalian
pemanfaatan ruang.
(2) Peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci
tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang.
(3) Peraturan zonasi ditetapkan dengan:
a. peraturan pemerintah untuk arahan peraturan
zonasi sistem nasional;
b. peraturan daerah provinsi untuk arahan
peraturan zonasi sistem provinsi; dan
c. peraturan . . .
- 30 -
c. peraturan daerah kabupaten/kota untuk
peraturan zonasi.
Pasal 37
(1) Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 diatur oleh Pemerintah dan pemerintah
daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang wilayah dibatalkan oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah menurut
kewenangan masing-masing sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau
diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar,
batal demi hukum.
(4) Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui
prosedur yang benar tetapi kemudian terbukti tidak
sesuai dengan rencana tata ruang wilayah,
dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah
sesuai dengan kewenangannya.
(5) Terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat
pembatalan izin sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), dapat dimintakan penggantian yang layak
kepada instansi pemberi izin.
(6) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi
akibat adanya perubahan rencana tata ruang
wilayah dapat dibatalkan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah dengan memberikan ganti
kerugian yang layak.
(7) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang
menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang
menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana
tata ruang.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan
izin dan tata cara penggantian yang layak
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)
diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 38 . . .
- 31 -
Pasal 38
(1) Dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang agar
pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata
ruang wilayah dapat diberikan insentif dan/atau
disinsentif oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.
(2) Insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35,
yang merupakan perangkat atau upaya untuk
memberikan imbalan terhadap pelaksanaan
kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang,
berupa:
a. keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi
silang, imbalan, sewa ruang, dan urun saham;
b. pembangunan serta pengadaan infrastruktur;
c. kemudahan prosedur perizinan; dan/atau
d. pemberian penghargaan kepada masyarakat,
swasta dan/atau pemerintah daerah.
(3) Disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35,
yang merupakan perangkat untuk mencegah,
membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan
yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang,
berupa:
a. pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan
dengan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk
mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat
pemanfaatan ruang; dan/atau
b. pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan
kompensasi, dan penalti.
(4) Insentif dan disinsentif diberikan dengan tetap
menghormati hak masyarakat.
(5) Insentif dan disinsentif dapat diberikan oleh:
a. Pemerintah kepada pemerintah daerah;
b. pemerintah daerah kepada pemerintah daerah
lainnya; dan
c. pemerintah kepada masyarakat.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata
cara pemberian insentif dan disinsentif diatur
dengan peraturan pemerintah.
Pasal 39 . . .
- 32 -
Pasal 39
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 merupakan tindakan penertiban yang dilakukan
terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang dan peraturan zonasi.
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian
pemanfaatan ruang diatur dengan peraturan
pemerintah.
Bagian Keempat
Penataan Ruang Kawasan Perkotaan
Paragraf 1
Umum
Pasal 41
(1) Penataan ruang kawasan perkotaan diselenggarakan
pada:
a. kawasan perkotaan yang merupakan bagian
wilayah kabupaten; atau
b. kawasan yang secara fungsional berciri
perkotaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih
wilayah kabupaten/kota pada satu atau lebih
wilayah provinsi.
(2) Kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dan huruf b menurut besarannya
dapat berbentuk kawasan perkotaan kecil, kawasan
perkotaan sedang, kawasan perkotaan besar,
kawasan metropolitan, atau kawasan megapolitan.
(3) Kriteria mengenai kawasan perkotaan menurut
besarannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan peraturan pemerintah.
Paragraf 2 . . .
- 33 -
Paragraf 2
Perencanaan Tata Ruang Kawasan Perkotaan
Pasal 42
(1) Rencana tata ruang kawasan perkotaan yang
merupakan bagian wilayah kabupaten adalah
rencana rinci tata ruang wilayah kabupaten.
(2) Dalam perencanaan tata ruang kawasan perkotaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
ketentuan Pasal 29, dan Pasal 30.
Pasal 43
(1) Rencana tata ruang kawasan perkotaan yang
mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah
kabupaten/kota pada satu atau lebih wilayah
provinsi merupakan alat koordinasi dalam
pelaksanaan pembangunan yang bersifat lintas
wilayah.
(2) Rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berisi arahan struktur ruang dan pola ruang
yang bersifat lintas wilayah administratif.
Pasal 44
(1) Rencana tata ruang kawasan metropolitan
merupakan alat koordinasi pelaksanaan
pembangunan lintas wilayah.
(2) Rencana tata ruang kawasan metropolitan dan/atau
kawasan megapolitan berisi:
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang
kawasan metropolitan dan/atau megapolitan;
b. rencana struktur ruang kawasan metropolitan
yang meliputi sistem pusat kegiatan dan sistem
jaringan prasarana kawasan metropolitan
dan/atau megapolitan;
c. rencana pola ruang kawasan metropolitan
dan/atau megapolitan yang meliputi kawasan
lindung dan kawasan budi daya;
d. arahan . . .
- 34 -
d. arahan pemanfaatan ruang kawasan
metropolitan dan/atau megapolitan yang berisi
indikasi program utama yang bersifat
interdependen antarwilayah administratif; dan
e. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang
kawasan metropolitan dan/atau megapolitan
yang berisi arahan peraturan zonasi kawasan
metropolitan dan/atau megapolitan, arahan
ketentuan perizinan, arahan ketentuan insentif
dan disinsentif, serta arahan sanksi.
Paragraf 3
Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan
Pasal 45
(1) Pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang
merupakan bagian wilayah kabupaten merupakan
bagian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten.
(2) Pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang
merupakan bagian dari 2 (dua) atau lebih wilayah
kabupaten/kota pada satu atau lebih wilayah
provinsi dilaksanakan melalui penyusunan program
pembangunan beserta pembiayaannya secara
terkoordinasi antarwilayah kabupaten/kota terkait.
Paragraf 4
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan
Pasal 46
(1) Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan
perkotaan yang merupakan bagian wilayah
kabupaten merupakan bagian pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah kabupaten.
(2) Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan
perkotaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih
wilayah kabupaten/kota pada satu atau lebih
wilayah provinsi dilaksanakan oleh setiap
kabupaten/kota.
(3) Untuk kawasan perkotaan yang mencakup 2 (dua)
atau . . .
- 35 -
atau lebih wilayah kabupaten/kota yang mempunyai
lembaga pengelolaan tersendiri, pengendaliannya
dapat dilaksanakan oleh lembaga dimaksud.
Paragraf 5
Kerja Sama Penataan Ruang Kawasan Perkotaan
Pasal 47
(1) Penataan ruang kawasan perkotaan yang mencakup
2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota
dilaksanakan melalui kerja sama antardaerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang
kawasan perkotaan diatur dengan peraturan
pemerintah.
Bagian Kelima
Penataan Ruang Kawasan Perdesaan
Paragraf 1
Umum
Pasal 48
(1) Penataan ruang kawasan perdesaan diarahkan
untuk:
a. pemberdayaan masyarakat perdesaan;
b. pertahanan kualitas lingkungan setempat dan
wilayah yang didukungnya;
c. konservasi sumber daya alam;
d. pelestarian warisan budaya lokal;
e. pertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan
untuk ketahanan pangan; dan
f. penjagaan keseimbangan pembangunan
perdesaan-perkotaan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan
terhadap kawasan lahan abadi pertanian pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diatur
dengan Undang-Undang.
(3) Penataan . . .
- 36 -
(3) Penataan ruang kawasan perdesaan
diselenggarakan pada:
a. kawasan perdesaan yang merupakan bagian
wilayah kabupaten; atau
b. kawasan yang secara fungsional berciri perdesaan
yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah
kabupaten pada satu atau lebih wilayah provinsi.
(4) Kawasan perdesaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berbentuk kawasan agropolitan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang
kawasan agropolitan diatur dengan peraturan
pemerintah.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang
kawasan perdesaan diatur dengan peraturan
pemerintah.
Paragraf`2
Perencanaan Tata Ruang Kawasan Perdesaan
Pasal 49
Rencana tata ruang kawasan perdesaan yang
merupakan bagian wilayah kabupaten adalah bagian
rencana tata ruang wilayah kabupaten.
Pasal 50
(1) Penataan ruang kawasan perdesaan dalam 1 (satu)
wilayah kabupaten dapat dilakukan pada tingkat
wilayah kecamatan atau beberapa wilayah desa atau
nama lain yang disamakan dengan desa yang
merupakan bentuk detail dari penataan ruang
wilayah kabupaten.
(2) Rencana tata ruang kawasan perdesaan yang
mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten
merupakan alat koordinasi dalam pelaksanaan
pembangunan yang bersifat lintas wilayah.
(3) Rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) berisi struktur ruang dan pola ruang yang
bersifat lintas wilayah administratif.
Pasal 51 . . .
- 37 -
Pasal 51
(1) Rencana tata ruang kawasan agropolitan
merupakan rencana rinci tata ruang 1 (satu) atau
beberapa wilayah kabupaten.
(2) Rencana tata ruang kawasan agropolitan memuat:
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang
kawasan agropolitan;
b. rencana struktur ruang kawasan agropolitan
yang meliputi sistem pusat kegiatan dan sistem
jaringan prasarana kawasan agropolitan;
c. rencana pola ruang kawasan agropolitan yang
meliputi kawasan lindung dan kawasan budi
daya;
d. arahan pemanfaatan ruang kawasan agropolitan
yang berisi indikasi program utama yang bersifat
interdependen antardesa; dan
e. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang
kawasan agropolitan yang berisi arahan
peraturan zonasi kawasan agropolitan, arahan
ketentuan perizinan, arahan ketentuan insentif
dan disinsentif, serta arahan sanksi.
Paragraf 3
Pemanfaatan Ruang Kawasan Perdesaan
Pasal 52
(1) Pemanfaatan ruang kawasan perdesaan yang
merupakan bagian wilayah kabupaten merupakan
bagian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten.
(2) Pemanfaatan ruang kawasan perdesaan yang
merupakan bagian dari 2 (dua) atau lebih wilayah
kabupaten dilaksanakan melalui penyusunan
program pembangunan beserta pembiayaannya
secara terkoordinasi antarwilayah kabupaten
terkait.
Paragraf 4 . . .
- 38 -
Paragraf 4
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perdesaan
Pasal 53
(1) Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan
perdesaan yang merupakan bagian wilayah
kabupaten merupakan bagian pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah kabupaten.
(2) Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan
perdesaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih
wilayah kabupaten dilaksanakan oleh setiap
kabupaten.
(3) Untuk kawasan perdesaan yang mencakup 2 (dua)
atau lebih wilayah kabupaten yang mempunyai
lembaga kerja sama antarwilayah kabupaten,
pengendaliannya dapat dilaksanakan oleh lembaga
dimaksud.
Paragraf 5
Kerja Sama Penataan Ruang Kawasan Perdesaan
Pasal 54
(1) Penataan ruang kawasan perdesaan yang
mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten
dilaksanakan melalui kerja sama antardaerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang
kawasan perdesaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk kawasan agropolitan yang berada
dalam 1 (satu) kabupaten diatur dengan peraturan
daerah kabupaten, untuk kawasan agropolitan yang
berada pada 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten
diatur dengan peraturan daerah provinsi, dan untuk
kawasan agropolitan yang berada pada 2 (dua) atau
lebih wilayah provinsi diatur dengan peraturan
pemerintah.
(3) Penataan ruang kawasan perdesaan
diselenggarakan secara terintegrasi dengan kawasan
perkotaan sebagai satu kesatuan pemanfaatan
ruang wilayah kabupaten/kota.
(4) Penataan . . .
- 39 -
(4) Penataan ruang kawasan agropolitan
diselenggarakan dalam keterpaduan sistem
perkotaan wilayah dan nasional.
(5) Keterpaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
mencakup keterpaduan sistem permukiman,
prasarana, sistem ruang terbuka, baik ruang
terbuka hijau maupun ruang terbuka nonhijau.
BAB VII
PENGAWASAN PENATAAN RUANG
Pasal 55
(1) Untuk menjamin tercapainya tujuan
penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, dilakukan pengawasan
terhadap kinerja pengaturan, pembinaan, dan
pelaksanaan penataan ruang.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas tindakan pemantauan, evaluasi, dan
pelaporan.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah
daerah sesuai dengan kewenangannya.
(4) Pengawasan Pemerintah dan pemerintah daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
dengan melibatkan peran masyarakat.
(5) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dapat dilakukan dengan menyampaikan laporan
dan/atau pengaduan kepada Pemerintah dan
pemerintah daerah.
Pasal 56
(1) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (2) dilakukan dengan
mengamati dan memeriksa kesesuaian antara
penyelenggaraan penataan ruang dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Apabila . . .
- 40 -
(2) Apabila hasil pemantauan dan evaluasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbukti terjadi
penyimpangan administratif dalam penyelenggaraan
penataan ruang, Menteri, Gubernur, dan
Bupati/Walikota mengambil langkah penyelesaian
sesuai dengan kewenangannya.
(3) Dalam hal Bupati/Walikota tidak melaksanakan
langkah penyelesaian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Gubernur mengambil langkah penyelesaian
yang tidak dilaksanakan Bupati/Walikota.
(4) Dalam hal Gubernur tidak melaksanakan langkah
penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3), Menteri mengambil langkah
penyelesaian yang tidak dilaksanakan Gubernur.
Pasal 57
Dalam hal penyimpangan dalam penyelenggaraan
penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56
ayat (2), pihak yang melakukan penyimpangan dapat
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 58
(1) Untuk menjamin tercapainya tujuan
penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, dilakukan pula
pengawasan terhadap kinerja fungsi dan manfaat
penyelenggaraan penataan ruang dan kinerja
pemenuhan standar pelayanan minimal bidang
penataan ruang.
(2) Dalam rangka peningkatan kinerja fungsi dan
manfaat penyelenggaraan penataan ruang wilayah
nasional disusun standar pelayanan
penyelenggaraan penataan ruang untuk tingkat
nasional.
(3) Standar pelayanan minimal bidang penataan ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek
pelayanan dalam perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang.
(4) Standar . . .
- 41 -
(4) Standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mencakup standar pelayanan minimal
bidang penataan ruang provinsi dan standar
pelayanan minimal bidang penataan ruang
kabupaten/kota.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan
minimal bidang penataan ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan
peraturan Menteri.
Pasal 59
(1) Pengawasan terhadap penataan ruang pada setiap
tingkat wilayah dilakukan dengan menggunakan
pedoman bidang penataan ruang.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditujukan pada pengaturan, pembinaan, dan
pelaksanaan penataan ruang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengawasan terhadap pengaturan, pembinaan, dan
pelaksanaan penataan ruang diatur dengan
peraturan Menteri.
BAB VIII
HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT
Pasal 60
Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk:
a. mengetahui rencana tata ruang;
b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat
penataan ruang;
c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian
yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan
pembangunan yang sesuai dengan rencana tata
ruang;
d. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang
terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang di wilayahnya;
e. mengajukan . . .
- 42 -
e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan
penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan
f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada
pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan
pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang menimbulkan kerugian.
Pasal 61
Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:
a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan
ruang dari pejabat yang berwenang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam
persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai milik umum.
Pasal 62
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61, dikenai sanksi administratif.
Pasal 63
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62 dapat berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian sementara pelayanan umum;
d. penutupan lokasi;
e. pencabutan izin;
f. pembatalan izin;
g. pembongkaran bangunan;
h. pemulihan . . .
- 43 -
h. pemulihan fungsi ruang; dan/atau
i. denda administratif.
Pasal 64
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 63 diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 65
(1) Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh
pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat.
(2) Peran masyarakat dalam penataan ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan,
antara lain, melalui:
a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata
ruang;
b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan
c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan
ruang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan
bentuk peran masyarakat dalam penataan ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 66
(1) Masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan
penataan ruang dapat mengajukan gugatan melalui
pengadilan.
(2) Dalam hal masyarakat mengajukan gugatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tergugat
dapat membuktikan bahwa tidak terjadi
penyimpangan dalam penyelenggaraan penataan
ruang.
BAB IX . . .
- 44 -
BAB IX
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 67
(1) Penyelesaian sengketa penataan ruang pada tahap
pertama diupayakan berdasarkan prinsip
musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak diperoleh kesepakatan,
para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian
sengketa melalui pengadilan atau di luar pengadilan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
BAB X
PENYIDIKAN
Pasal 68
(1) Selain pejabat penyidik kepolisian negara Republik
Indonesia, pegawai negeri sipil tertentu di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang penataan ruang
diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk
membantu pejabat penyidik kepolisian negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan
atau keterangan yang berkenaan dengan tindak
pidana dalam bidang penataan ruang;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang
diduga melakukan tindak pidana dalam bidang
penataan ruang;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang
sehubungan dengan peristiwa tindak pidana
dalam bidang penataan ruang;
d. melakukan . . .
- 45 -
d. melakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen
yang berkenaan dengan tindak pidana dalam
bidang penataan ruang;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang
diduga terdapat bahan bukti dan dokumen lain
serta melakukan penyitaan dan penyegelan
terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran
yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak
pidana dalam bidang penataan ruang; dan
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka
pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana
dalam bidang penataan ruang.
(3) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan kepada pejabat penyidik kepolisian
negara Republik Indonesia.
(4) Apabila pelaksanaan kewenangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) memerlukan tindakan
penangkapan dan penahanan, penyidik pegawai
negeri sipil melakukan koordinasi dengan pejabat
penyidik kepolisian negara Republik Indonesia
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(5) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan
kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik
kepolisian negara Republik Indonesia.
(6) Pengangkatan pejabat penyidik pegawai negeri sipil
dan tata cara serta proses penyidikan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 69
(1) Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang
yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 huruf a yang mengakibatkan perubahan
fungsi . . .
- 46 -
fungsi ruang, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta
benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan)
tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah).
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 70
(1) Setiap orang yang memanfaatkan ruang tidak sesuai
dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang
berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61
huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan perubahan fungsi ruang,
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta
benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu
miliar lima ratus juta rupiah).
(4) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 71 . . .
- 47 -
Pasal 71
Setiap orang yang tidak mematuhi ketentuan yang
ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf c, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Pasal 72
Setiap orang yang tidak memberikan akses terhadap
kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai milik umum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 61 huruf d, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 73
(1) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang
menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata
ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat
(7), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) pelaku dapat dikenai pidana tambahan
berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat
dari jabatannya.
Pasal 74
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72
dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana
penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana
yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa
pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari
pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal
69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan
berupa:
a. pencabutan . . .
- 48 -
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
Pasal 75
(1) Setiap orang yang menderita kerugian akibat tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69,
Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72, dapat menuntut
ganti kerugian secara perdata kepada pelaku tindak
pidana.
(2) Tuntutan ganti kerugian secara perdata
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan hukum acara pidana.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 76
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua
peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan penataan
ruang yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-
Undang ini.
Pasal 77
(1) Pada saat rencana tata ruang ditetapkan, semua
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang harus disesuaikan dengan
rencana tata ruang melalui kegiatan penyesuaian
pemanfaatan ruang.
(2) Pemanfataan ruang yang sah menurut rencana tata
ruang sebelumnya diberi masa transisi selama 3
(tiga) tahun untuk penyesuaian.
(3) Untuk pemanfaatan ruang yang izinnya diterbitkan
sebelum penetapan rencana tata ruang dan dapat
dibuktikan bahwa izin tersebut diperoleh sesuai
dengan prosedur yang benar, kepada pemegang izin
diberikan penggantian yang layak.
BAB XIII . . .
- 49 -
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 78
(1) Peraturan pemerintah yang diamanatkan Undang-
Undang ini diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.
(2) Peraturan presiden yang diamanatkan Undang-
Undang ini diselesaikan paling lambat 5 (lima)
tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diberlakukan.
(3) Peraturan Menteri yang diamanatkan Undang-
Undang ini diselesaikan paling lambat 3 (tiga) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.
(4) Dengan berlakunya Undang-Undang ini:
a. Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional disesuaikan paling
lambat dalam waktu 1 (satu) tahun 6 (enam)
bulan terhitung sejak Undang-Undang ini
diberlakukan;
b. semua peraturan daerah provinsi tentang
rencana tata ruang wilayah provinsi disusun
atau disesuaikan paling lambat dalam waktu 2
(dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diberlakukan; dan
c. semua peraturan daerah kabupaten/kota tentang
rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota
disusun atau disesuaikan paling lambat 3 (tiga)
tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diberlakukan.
Pasal 79
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501)
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 80
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .
- 50 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 26 April 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 April 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 68
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
ttd.
Wisnu Setiawan
- 51 -
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 26 TAHUN 2007
TENTANG
PENATAAN RUANG
I. UMUM
1. Ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik
sebagai kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang
laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi,
maupun sebagai sumber daya, merupakan karunia Tuhan
Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia yang perlu
disyukuri, dilindungi, dan dikelola secara berkelanjutan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat
yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta makna
yang terkandung dalam falsafah dan dasar negara Pancasila.
Untuk mewujudkan amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut,
Undang-Undang tentang Penataan Ruang ini menyatakan
bahwa negara menyelenggarakan penataan ruang, yang
pelaksanaan wewenangnya dilakukan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah dengan tetap menghormati hak yang
dimiliki oleh setiap orang.
2. Secara geografis, letak Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berada di antara dua benua dan dua samudera sangat
strategis, baik bagi kepentingan nasional maupun
internasional. Secara ekosistem, kondisi alamiah Indonesia
sangat khas karena posisinya yang berada di dekat
khatulistiwa dengan cuaca, musim, dan iklim tropis, yang
merupakan aset atau sumber daya yang sangat besar bagi
bangsa Indonesia. Di samping keberadaan yang bernilai
sangat strategis tersebut, Indonesia berada pula pada kawasan
rawan bencana, yang secara alamiah dapat mengancam
keselamatan bangsa. Dengan keberadaan tersebut,
penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional harus
dilakukan secara komprehensif, holistik, terkoordinasi,
terpadu . . .
- 2 -
terpadu, efektif, dan efisien dengan memperhatikan faktor
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan
kelestarian lingkungan hidup.
3. Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi, sebagai tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan
memelihara kelangsungan hidupnya, pada dasarnya
ketersediaannya tidak tak terbatas. Berkaitan dengan hal
tersebut, dan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang
aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, Undang-
Undang ini mengamanatkan perlunya dilakukan penataan
ruang yang dapat mengharmoniskan lingkungan alam dan
lingkungan buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan
penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan,
serta yang dapat memberikan pelindungan terhadap fungsi
ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan
hidup akibat pemanfaatan ruang. Kaidah penataan ruang ini
harus dapat diterapkan dan diwujudkan dalam setiap proses
perencanaan tata ruang wilayah.
4. Ruang sebagai sumber daya pada dasarnya tidak mengenal
batas wilayah. Namun, untuk mewujudkan ruang wilayah
nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan
berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional,
serta sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang nyata,
luas, dan bertanggung jawab, penataan ruang menuntut
kejelasan pendekatan dalam proses perencanaannya demi
menjaga keselarasan, keserasian, keseimbangan, dan
keterpaduan antardaerah, antara pusat dan daerah,
antarsektor, dan antarpemangku kepentingan. Dalam Undang-
Undang ini, penataan ruang didasarkan pada pendekatan
sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan
kawasan, dan nilai strategis kawasan.
Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah tersebut,
wewenang penyelenggaraan penataan ruang oleh Pemerintah
dan pemerintah daerah, yang mencakup kegiatan pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang,
didasarkan pada pendekatan wilayah dengan batasan wilayah
administratif. Dengan pendekatan wilayah administratif
tersebut, penataan ruang seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia terdiri atas wilayah nasional, wilayah
provinsi . . .
- 3 -
provinsi, wilayah kabupaten, dan wilayah kota, yang setiap
wilayah tersebut merupakan subsistem ruang menurut
batasan administratif. Di dalam subsistem tersebut terdapat
sumber daya manusia dengan berbagai macam kegiatan
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan, dan
dengan tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda, yang
apabila tidak ditata dengan baik dapat mendorong ke arah
adanya ketidakseimbangan pembangunan antarwilayah serta
ketidaksinambungan pemanfaatan ruang. Berkaitan dengan
penataan ruang wilayah kota, Undang-Undang ini secara
khusus mengamanatkan perlunya penyediaan dan
pemanfaatan ruang terbuka hijau, yang proporsi luasannya
ditetapkan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas
wilayah kota, yang diisi oleh tanaman, baik yang tumbuh
secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
Penataan ruang dengan pendekatan kegiatan utama kawasan
terdiri atas penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan
ruang kawasan perdesaan. Kawasan perkotaan, menurut
besarannya, dapat berbentuk kawasan perkotaan kecil,
kawasan perkotaan sedang, kawasan perkotaan besar,
kawasan metropolitan, dan kawasan megapolitan. Penataan
ruang kawasan metropolitan dan kawasan megapolitan,
khususnya kawasan metropolitan yang berupa kawasan
perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang
saling memiliki keterkaitan fungsional dan dihubungkan
dengan jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi,
merupakan pedoman untuk keterpaduan perencanaan tata
ruang wilayah administrasi di dalam kawasan, dan
merupakan alat untuk mengoordinasikan pelaksanaan
pembangunan lintas wilayah administratif yang bersangkutan.
Penataan ruang kawasan perdesaan diselenggarakan pada
kawasan perdesaan yang merupakan bagian wilayah
kabupaten atau pada kawasan yang secara fungsional berciri
perdesaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah
kabupaten pada 1 (satu) atau lebih wilayah provinsi. Kawasan
perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten dapat
berupa kawasan agropolitan.
Penataan ruang dengan pendekatan nilai strategis kawasan
dimaksudkan untuk mengembangkan, melestarikan,
melindungi dan/atau mengoordinasikan keterpaduan
pembangunan nilai strategis kawasan yang bersangkutan
demi terwujudnya pemanfaatan yang berhasil guna, berdaya
guna, dan berkelanjutan. Penetapan kawasan strategis pada
setiap . . .
- 4 -
setiap jenjang wilayah administratif didasarkan pada pengaruh
yang sangat penting terhadap kedaulatan negara, pertahanan,
keamanan, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan,
termasuk kawasan yang ditetapkan sebagai warisan dunia.
Pengaruh aspek kedaulatan negara, pertahanan, dan
keamanan lebih ditujukan bagi penetapan kawasan strategis
nasional, sedangkan yang berkaitan dengan aspek ekonomi,
sosial, budaya, dan lingkungan, yang dapat berlaku untuk
penetapan kawasan strategis nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota, diukur berdasarkan pendekatan ekternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi penanganan kawasan yang
bersangkutan.
5. Penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara yang
satu dan yang lain dan harus dilakukan sesuai dengan kaidah
penataan ruang sehingga diharapkan (i) dapat mewujudkan
pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna
serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang
berkelanjutan; (ii) tidak terjadi pemborosan pemanfaatan
ruang; dan (iii) tidak menyebabkan terjadinya penurunan
kualitas ruang.
Penataan ruang yang didasarkan pada karakteristik, daya
dukung dan daya tampung lingkungan, serta didukung oleh
teknologi yang sesuai akan meningkatkan keserasian,
keselarasan, dan keseimbangan subsistem. Hal itu berarti
akan dapat meningkatkan kualitas ruang yang ada. Karena
pengelolaan subsistem yang satu berpengaruh pada subsistem
yang lain dan pada akhirnya dapat mempengaruhi sistem
wilayah ruang nasional secara keseluruhan, pengaturan
penataan ruang menuntut dikembangkannya suatu sistem
keterpaduan sebagai ciri utama. Hal itu berarti perlu adanya
suatu kebijakan nasional tentang penataan ruang yang dapat
memadukan berbagai kebijakan pemanfaatan ruang. Seiring
dengan maksud tersebut, pelaksanaan pembangunan yang
dilaksanakan, baik oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
maupun masyarakat, baik pada tingkat pusat maupun pada
tingkat daerah, harus dilakukan sesuai dengan rencana tata
ruang yang telah ditetapkan. Dengan demikian, pemanfaatan
ruang oleh siapa pun tidak boleh bertentangan dengan
rencana tata ruang.
6. Perencanaan . . .
- 5 -
6. Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan
rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang.
Rencana umum tata ruang disusun berdasarkan pendekatan
wilayah administratif dengan muatan substansi mencakup
rencana struktur ruang dan rencana pola ruang. Rencana
rinci tata ruang disusun berdasarkan pendekatan nilai
strategis kawasan dan/atau kegiatan kawasan dengan muatan
substansi yang dapat mencakup hingga penetapan blok dan
subblok peruntukan. Penyusunan rencana rinci tersebut
dimaksudkan sebagai operasionalisasi rencana umum tata
ruang dan sebagai dasar penetapan peraturan zonasi.
Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur
tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan
pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona
peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata
ruang. Rencana rinci tata ruang wilayah kabupaten/kota dan
peraturan zonasi yang melengkapi rencana rinci tersebut
menjadi salah satu dasar dalam pengendalian pemanfaatan
ruang sehingga pemanfaatan ruang dapat dilakukan sesuai
dengan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata
ruang.
7. Pengendalian pemanfaatan ruang tersebut dilakukan pula
melalui perizinan pemanfaatan ruang, pemberian insentif dan
disinsentif, serta pengenaan sanksi. Perizinan pemanfaatan
ruang dimaksudkan sebagai upaya penertiban pemanfaatan
ruang sehingga setiap pemanfaatan ruang harus dilakukan
sesuai dengan rencana tata ruang. Izin pemanfaatan ruang
diatur dan diterbitkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah
sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Pemanfaatan
ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang
dilengkapi dengan izin maupun yang tidak memiliki izin,
dikenai sanksi adminstratif, sanksi pidana penjara, dan/atau
sanksi pidana denda.
Pemberian insentif dimaksudkan sebagai upaya untuk
memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang
sejalan dengan rencana tata ruang, baik yang dilakukan oleh
masyarakat maupun oleh pemerintah daerah. Bentuk insentif
tersebut, antara lain, dapat berupa keringanan pajak,
pembangunan prasarana dan sarana (infrastruktur),
pemberian kompensasi, kemudahan prosedur perizinan, dan
pemberian penghargaan.
Disinsentif . . .
- 6 -
Disinsentif dimaksudkan sebagai perangkat untuk mencegah,
membatasi pertumbuhan, dan/atau mengurangi kegiatan
yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang, yang antara
lain dapat berupa pengenaan pajak yang tinggi, pembatasan
penyediaan prasarana dan sarana, serta pengenaan
kompensasi dan penalti.
Pengenaan sanksi, yang merupakan salah satu upaya
pengendalian pemanfaatan ruang, dimaksudkan sebagai
perangkat tindakan penertiban atas pemanfaatan ruang yang
tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi.
Dalam Undang-Undang ini pengenaan sanksi tidak hanya
diberikan kepada pemanfaat ruang yang tidak sesuai dengan
ketentuan perizinan pemanfaatan ruang, tetapi dikenakan
pula kepada pejabat pemerintah yang berwenang yang
menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang.
8. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang, sebagai dasar pengaturan penataan ruang selama ini,
pada dasarnya telah memberikan andil yang cukup besar
dalam mewujudkan tertib tata ruang sehingga hampir semua
pemerintah daerah telah memiliki rencana tata ruang wilayah.
Sejalan dengan perkembangan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, beberapa pertimbangan yang telah diuraikan
sebelumnya, dan dirasakan adanya penurunan kualitas ruang
pada sebagian besar wilayah menuntut perubahan pengaturan
dalam Undang-Undang tersebut.
Beberapa perkembangan tersebut antara lain (i) situasi
nasional dan internasional yang menuntut penegakan prinsip
keterpaduan, keberlanjutan, demokrasi, dan keadilan dalam
rangka penyelenggaraan penataan ruang yang baik; (ii)
pelaksanaan kebijakan otonomi daerah yang memberikan
wewenang yang semakin besar kepada pemerintah daerah
dalam penyelenggaraan penataan ruang sehingga pelaksanaan
kewenangan tersebut perlu diatur demi menjaga keserasian
dan keterpaduan antardaerah, serta tidak menimbulkan
kesenjangan antardaerah; dan (iii) kesadaran dan pemahaman
masyarakat yang semakin tinggi terhadap penataan ruang
yang memerlukan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan
pengawasan penataan ruang agar sesuai dengan
perkembangan yang terjadi di masyarakat.
Untuk . . .
- 7 -
Untuk menyesuaikan perkembangan tersebut dan untuk
mengantisipasi kompleksitas perkembangan permasalahan
dalam penataan ruang, perlu dibentuk Undang-Undang
tentang Penataan Ruang yang baru sebagai pengganti Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
9. Dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan penataan
ruang tersebut, Undang-Undang ini, antara lain, memuat
ketentuan pokok sebagai berikut:
a. pembagian wewenang antara Pemerintah, pemerintah
daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota
dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk
memberikan kejelasan tugas dan tanggung jawab masingmasing
tingkat pemerintahan dalam mewujudkan ruang
wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan;
b. pengaturan penataan ruang yang dilakukan melalui
penetapan peraturan perundang-undangan termasuk
pedoman bidang penataan ruang sebagai acuan
penyelenggaraan penataan ruang;
c. pembinaan penataan ruang melalui berbagai kegiatan
untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan penataan
ruang;
d. pelaksanaan penataan ruang yang mencakup perencanaan
tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang pada semua tingkat pemerintahan;
e. pengawasan penataan ruang yang mencakup pengawasan
terhadap kinerja pengaturan, pembinaan, dan
pelaksanaan penataan ruang, termasuk pengawasan
terhadap kinerja pemenuhan standar pelayanan minimal
bidang penataan ruang melalui kegiatan pemantauan,
evaluasi, dan pelaporan;
f. hak, kewajiban, dan peran masyarakat dalam
penyelenggaraan penataan ruang untuk menjamin
keterlibatan masyarakat, termasuk masyarakat adat
dalam setiap proses penyelenggaraan penataan ruang;
g. penyelesaian sengketa, baik sengketa antardaerah
maupun antarpemangku kepentingan lain secara
bermartabat;
h. penyidikan . . .
- 8 -
h. penyidikan, yang mengatur tentang penyidik pegawai
negeri sipil beserta wewenang dan mekanisme tindakan
yang dilakukan;
i. ketentuan sanksi administratif dan sanksi pidana sebagai
dasar untuk penegakan hukum dalam penyelenggaraan
penataan ruang; dan
j. ketentuan peralihan yang mengatur keharusan
penyesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata
ruang yang baru, dengan masa transisi selama 3 (tiga)
tahun untuk penyesuaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar